Review: KKN di Desa Penari (2022)- Penantian Lama yang Kurang Terbayarkan


 


Banyak sekali film-film yang diadaptasi dari sebuah karya terkenal, entah itu dari game, seperti Resident Evil Welcome to Raccoon City, atau Novel seperti We Have Always Lived in The Castle dan Cell. Bisa saja dari hal viral seperti cerita creepypasta yang melahirkan berbagai karakter atau cerita horror viral, seperti Slenderman yang diadaptasi dalam film Always Watching, hal ini pun sama dengan KKN di Desa Penari yang diadaptasi dari cuitan viral dari Simpleman.

Sinopsis

Film KKN di Desa Penari, mencerirtakan mengenai sekelompok mahasiswa; Nur (Tissa Biani Azzahra), Ayu (Aghniny Haque), Bima (Achmad Megantara), Anton (Calvin Jeremy), Widya (Adinda Thomas) dan Wahyu (Fajar Nugra), yang hendak melakukan KKN di sebuah desa terpencil di pedalaman hutan. KKN yang seharusnya berjalan dengan lancar pun ternyata berakhir menjadi malapetaka setelah beberapa dari mahasiswa tersebut melanggar aturan-aturan yang ada di desa, membuat nyawa mereka terancam oleh sosok penari cantik misterius.

Mari KKN di Desa Penari

Setelah penantian panjang atas film garapan Awi Suryadi, ditemani oleh sang penulis naskah, Lele Laila, film KKN di Desa Penari pun akhirnya rilis. Pandemi yang cukup ganas ini memaksa film yang diadaprtasi dari cuitan atau utasan twitter milik Simpleman ini mundur, membuat para penggemar yang sangat antusias dan penasaran akan adaptasi dari cerita viral tersebut kecewa. Namun tenang saja, kekecewaan tersebut akhirnya terobati dengan hadirnya KKN di Desa Penari ini, dengan versi UNCUT dan biasa. Tentunya, agar terasa lebih mantap dan tak perlu penasaran lagi, saya langsung  menonton yang versi UNCUT nya.

KKN di Desa Penari ini dibuka dengan Nur, Ayu dan saudaranya yang tengah mengunjungi lokasi tempat KKN yang akan mereka jalani. Namun, sesampainya di desa yang terpencil tersebut, Nur merasakan sesuatu yang aneh di desa tersebut. Kemudian setelah mendapatkan perizinan yang cukup alot tersebut, Nur dan kawan-kawannya berhasil KKN di desa tersebut.

Desa Misterius yang Terpencil

Film KKN di Desa Penari yang mengusung setting di sebuah desa terpencil di pedalaman hutan, tentunya menjadi suatu konsep yang menarik dan pastinya membutuhkan lokasi syuting yang benar-benar mendukung untuk memaksimalkan kesan mistis dan angker yang ada. Beruntungnya, KKN di desa penari ini memilih lokasi syuting yang terbilang sangat mendukung hal tersebut. Nuansa angker sekaligus mistis yang sudah dibalut sejak pembuka sudah terasa, bahkan tanpa penampakan-penampakan, hanya melihat pepohonan rindang semata, kesan angkernya sudah terasa. Terlebih lagi kita akan melihat selipan-selipan penampakan hantu-hantu yang nantinya akan meneror penonoton, membuat settingnya semakin sangat mendukung.

Terlebih lagi, kesan angker dan mistis tersebut semakin kuat saat tokoh-tokoh tersebut diajak keliling desa oleh Pak Prabu, sembari sekelibat menceritakan apa saja yang ada di desa ini. Kesan misteri pun semakin meningkat tatkala kitra melihat kuburan-kuburan yang dengan anehnya dibalut oleh kain hitam dan tempat-tempat yang tak boleh dimasuki oleh para mahasiswa tersebut. Kemudian kondisi desa yang tak kalah misterius pun semakin menambah misteri dan horor dalam film ini, seperti mengapa desa tersebut didominasi laki-laki dewasa, dan sesajen-sesajen yang ada di sekitaran desa tersebut. Interaksi-interaksi antar penduduk desa dengan para mahasiswa pun menambah kesan ‘tak beres’ pada desa tersebut, dengan gelagatnya yang nampak menyembunyikan sesuatu, hubungan antara warga dan mahasiswa ini membangun suatu misteri yang baik dan menarik.

Dengan setting yang sudah mendukung, sinematografi dalam film KKN di Desa Penari pun ikut mendukung. Menangkap berbagai pemandangan indagh, penampakan-penampakan yang akan digunakan untuk menakuti para penonton. Permainan kamera yang digunakan untuk membangun jumpscare dalam film ini pun digunakan dengan sangat baik, dengan perlahan-lahan menunjukkan penampakannya sedikit demi sedikit, tentunya membangun rasa takut dan penasaran akan apa yang terjadi selanjutnya.

Alur yang Ikut Tersesat dan Kelimpungan

Dengan konsep dan cerita yang menarik ini, KKN di Desa Penari memiliki potensi besar untuk menjadi film horror indonesia yang berhasil menggebrak karbna mengerikan atau seram. Terlebih lagi, film ini hadir dikarenakan thread horror yang sensasional dan berhasil menggebrak banyak orang, menjadikan cuitan twitter tersebut bahan pembicaraan banyak orang karna betapa mengerikannya. Sayangnya film ini tak berhasil untuk membawa horror sepadan layaknya yang dituturkan oleh Simpleman dalam cuitannya. Saya sendiri salah satu yang tak membaca cuitannya sama sekali, hanya mendengar bagaimana viralnya cuitan tersebut dari satu postingan ke postingan yang lain, sehingga seluruh penilaian saya pada tulisan ini tak akan melirik pada alur yang ada di cuitannya. Saya akan menulis tulisan ini hanya berdasarkan penilaian filmnya semata.

Tidak dapat dipungkiri, film ini memiliki premis yang sangat menarik. Setelah saya cukup lelah dengan film horror yang sedikit berkiblat ke film horror luar negri, KKN di Desa Penari ini menjadi sebuah penyegar film horror dengan unsur lokal yang sangat kental. Dialog-dialog berbahasa jawa yang digunakan seluruh karakter dalam film ini pun menarik, membuat kita semakin terikat pada adat dan budaya yang ada, sehingga kita bisa sedikit demi sedikit memahami konsep apa yang dibangun dalam film ini, karena toh menggunakan unsur dan konsep yang memang tidak asing pada kebudayaan kita.

Hantu-hantu yang ada dalam film ini pun terbilang cukup menyeramkan, apalagi saat Nur melihat pertama kali sosok Genderuwo yang berada di antara pepohonan dengan mata merahnya yang menyala terang. Hal itu cukup membuat saya sendiri merinding melihatnya. Sosok nenek pun tak kalah menyeramkan, dan bahkan bagi saya hantu nenek itu menjadi salah satu jumpscare yang sukses, mengingat penampilannya yang menyeramkan dan nampak mengancam meski hanya menatap dan berdiri saja. Sosok Badarawuhi (Aulia Sarah) pun berhasil hadir dengan aura mistis yang kuat meskipun dia bukanlah sosok yang paling menyeramkan secara visual. Nampun kehadirannya di setiap adegan selalu menarik perhatian dengan aura mistisnya yang kuat, dan berhasil untuk menunjukkan bahwa dia tidaklah seperti hantu lainnya, Badarawuhi memiliki tingkatan yang berbeda, Aulia Sarah sangat berhasil memerankan Badarawuhi, bahkan saat adegan dimana Nur melihat siluet Badarawuhi, saya dibuat merinding.

Beberapa adegan-adegan dalam film ini pun cukup memorable bagi saya sendiri. Seperti pada adegan kesurupan dan hajatan misterius yang cukup berhasil untuk menghantarkan horrornya. Sentuhan-sentuhan horror lokal pun membantu film ini untuk membangun alur dan atmosfernya, seperti bagaimana salah satu penduduk memberikan kopi hitam kepada para mahasiswa, dan kemudian beliau mengetahui siapa yang diganggu oleh makhluk gaib tersebut. Masih ada beberapa lainnya adegan yang menarik di film ini bagi saya. Namun adegan-adegan yang sangat berpotensi menjadi sebuah poin penting tersebut nampak kurang maksimal dikarenakan penceritaannya yang berantakan dan nampak dangkal.

Hal yang sangat disayangkan dari film ini adalah pendalaman cerita yang kurang. Film KKN di Desa Penari ini nampak enggan untuk mendalami alur maupun desa dan karakter yang ada. Kita sendiri disuguhkan suatu desa yang menyimpan sebuah misteri di dalamnya, sehingga para mahasiswa ini bisa-bisanya diganggu, namun keberadaan desa yang menjadi setting utama ini malah hadir layaknya dua dimensi, tidak ada suatu pendalaman yang terjadi sepanjang durasi. Desanya sendiri tidak menunjukkan kehadiran masyarakat ataupun hal-hal lainnya, kita tidak diajak untuk benar-benar menjelajahi desa tersebut, sehingga kesan misteri dan angker yang hadir tidak terasa. Bahkan interaksi yang sangat minim antara para mahasiswa dengan para penduduk lokal desa menjadikan desa ini hanya pajangan semata dan kita hanya berputar menjadikan para mahasiswa ini sebagai porosnya, melupakan posisi desa tersebut yang menjadi salah satu poin pentingnya.

Namun ternyata, meskipun kita berfokus pada para mahasiswa dan konflik-konfliknya, hal itu tidak menjadikan film ini memiliki karakter yang tiga dimensi. Entah mengapa karakter-karakter yang hadir pada film ini nampak terlalu monoton dan begitu saja. Nur yang menjadi karakter utama, hadir dengan ‘kemampuannya’ merasakan makhluk halus, memosisikan diri sebagai penjaga kawan-kawannya malah tidak melakukan hal tersebut, tidak ada perkembangan untuk karakter utama tercinta kita. Entah mengapa segala clue atas konflik yang ada diselesaikan secara tidak sengaja. Seperti Nur yang menemukan selendang ataupun gelang penting tersebut secara tidak sengaja. Hubungan antar karakter pun nampak berantakan dan tak bernyawa. Seperti disebutkan Nur dan Bima merupakan sahabat lama, namun kita tidak pernah melihat interaksi antar Nur dan Bima yang menujukkan bahwa mereka benar-benar sudah kenal sejak lama. Atau bagaimana Ayu menyukai Bima, atau hubungan Bima dengan Widya. Entahlah, karakter ini hanya berjalan kesana-kemari layaknya pion tanpa jiwa. Beruntungnya, ada Wahyu yang berhasil memecah rasa monoton yang lama kelamaan membuat pegal, bahkan saya dan para penonton di bioskop bersorak saat Wahyu mulai muncul dengan candaannya yang terkadang garing. Tapi, dialah spotlight dalam film ini. Terlebih lagi, para mahasiswa ini tengah melakukan KKN, namun kita sangat jarang melihat KKN mereka, hanya sekali dua kali melihat beberapa persiapan KKN mereka, namun lebih didominasi oleh mereka yang sibuk diganggu. Menjadikan karakternya nampak semakin tak memiliki pendalaman, bisa saja kita diperlihatkan bagaimana mereka diganggu saat sedang melakukan proker atau apalah itu, namun nyatanya tidak.

Alih-alih ingin menjadikan film ini kaya akan plot twist dengan menjelaskan konflik dan akarnya pada babak ketiga, film ini malah merusak tatanan alur. Sejak babak pertama, kita tidak disuguhkan banyak materi ataupun hal penting yang membuka konfliknya, melainkan kita disuguhkan beragam jumpscare yang bahkan lama-kelamaan saya kebal terhadap mereka. Saking try hard nya untuk menakut-nakuti para penonton adegan di kamar mandi yang awalnya memang menakutkan (pada saat Nur pertama masuk), namun malah menjadi membosankan saat Widya yang ditakut-takuti, bahkan saya berpikir berapa liter air yang dihabiskan Widya? Babak awal yang hanya disusun menggunakan jumpscare demi jumpscare, membuat babak kedua dan ketiga nampak tidak memiliki pegangan kuat. Perpindahan antar sudut pandang Widya dan Nur pun nampak kurang rapih, menimbulkan kebingungan untuk mencari pijakan apa yang sebenarnya terjadi dan setting waktunya.

Kemudian pada babak kedua dan ketiga lah kita langsung dijatuhkan berbagai konflik penting tanpa gerbang pembuka konflik tersebut. Ketiadaan gerbang di babak awal ini, membuat konflik-konflik yang terjadi nampak kosong dan tidak memiliki pondasi awal yang kuat, seperti konflik tersebut terjadi tanpa alasan (meskipun ada, karena dijelaskan pada akhir-akhir film), mungkin hal ini sengaja dilakukan untuk membangun suatu misteri yang kuat dan plot twist yang mengejutkan. Alih-alih membangun misteri dan plot twist, sususan alurnya nampak buru-buru dan berantakan. Penyelesaian konfliknya nampak kurang maksimal, klimaks maupun anti-klimaksnya tidak bekerja secara maksimal. Berbagai poin-poin yang ada di film ini pun ditinggalkan menjadi sebuah plot hole, seperti bagaimana peran ‘pelindung’ si Nur, atau bagaimana penyelesaiannya dengan Badarawuhi, hal itu nampak seperti masih berada di permukaan dan tak terselesaikan secara matang. Terlebih lagi ending yang nampak seperti wawancara antara Nur dan Widya, menjadikan film ini semakin membingungkan konsepnya. Mungkin saja jika wawancara ini ditaruh di awal, bisa saja film ini dibangun layaknya film The Medium.

Kesimpulan

Pada akhirnya, KKN di Desa Penari memanglah sebuah film yang memiliki potensi yang sangat kuat untuk menjadi salah satu film horror terbaik. Dari segi premis yang menari. Namun, sayanganya penantian lama ini nampak tak terbayar dengan puas oleh KKN di Desa Penari. Dengan alurnya yang nampak kurang terstruktur rapih, karakterisasinya yang dangkal, dan sangat bergantung pada jumpscare untuk hal menakut-nakuti tanpa berusaha untuk membangun tensi yang kuat. Pada akhirnya KKN di Desa Penari merupakan suatu penantian yang tidak memuaskan.

Rating


20%

Komentar