Review: Winnie the Pooh: Blood and Honey (2023) - Konsep Menarik Eksekusi Payah


Rasa-rasanya sedikit berdosa melihat saya baru kembali menulis di blog kesayangan ini. Tahun-tahun ini bagaikan Rollercoaster bagi saya sendiri, dengan kepadatan jadwal yang benar-benar mencekik, membuat saya sangat kesulitan memberikan waktu luang untuk menonton dan menuangkan opini saya pada beberapa film yang telah saya tonton. Jangankan waktu luang untuk menulis, menonton film horror pun sangat kesulitan untuk menemukan waktunya. Akhirnya, dengan waktu yang cukup luang ini saya berhasil menyikatnya dengan menonton film yang sangat saya tunggu sebagai sosok yang mencintai film Slasher. Yaitu, film Winnie the Pooh: Blood and Honey (2023). Film yang berhasil menarik perhatian saya kala itu, dengan beberapa teaser foto yang membuat saya penasaran akan film ini, dan akhirnya tahun ini saya berhasil menyempatkan diri menonton Winnie the Pooh: Blood and Honey.

 

Sinopsis

Winnie the Pooh: Blood and Honey garapan Rhys Frake-Waterfield ini menceritakan sisi gelap Winnie the Pooh. Apa yang terjadi jika Christopher Robin berhenti memberi makan Pooh dan kawan-kawannya? Hal ini lah yang menjadi alur utama Winnie the Pooh: Blood and Honey. Christopher Robin (Nikolai Leon) yang telah bersahabat dengan geng Pooh tiba-tiba tidak lagi memberi makan mereka dan bermain dengan mereka lagi, menimbulkan sebuah konsekuensi besar yang mengakibatkan Pooh dan kawan-kawannya menjadi buas dan membabi buta menyerang siapa saja.

Christopher Robin yang kini sudah dewasa berusaha untuk kembali bertemu dengan kawan-kawan lamanya. Namun, siapa sangka yang ia temui kali ini bukanlah Pooh ramah yang ia kenal dahulu, melainkan Pooh yang sudah menanam dendam terhadap Christopher Robin. Lalu bagaimanakah Christopher Robin menghadapi Pooh yang kini menjadi kejam?

Winnie The Pooh Yang Manis, Dimanakah Kamu?

Film ini sendiri dibuka dengan sebuah opening  yang cukup menarik. Dengan menggunakan scene animasi dalam menceritakan awal mula bagaimana Christopher Robin bertemu dengan Pooh  dan kawan-kawannya, menjadikan saya semakin antusias untuk mengikuti alur film ini. Akan dibawa kemanakah film ini nantinya? Entahlah.

Dengan awal mula diceritakan bagaimana Christopher Robin meninggalkan Pooh and the gang demi melanjutkan pendidikannya menjadi seorang dokter. Berujung pada keadaan Pooh dan kawan-kawannya yang semakin memburuk dikarenakan ketergantungan mereka terhadap Christopher Robin. Hari demi hari berlalu dan akhirnya kondisi semakin memburuk, membuat mereka semakin membuas saja dan meninggalkan sisi kemanusiaan mereka sendiri.

Sosok Pooh yang menjadi brutal dan buas ini adalah sebuah senjata utama dalam film Winnie-the-Pooh: Blood and Honey ini. Dengan promosi film ini yang menampilkan sosok Pooh yang nampak mengerikan dan terasa uncanny ini adalah daya jual utama film ini. Yang mana sangat amatlah benar film ini akan menampilkan sosok Pooh seperti yang digadang-gadang.  Setelah cukup bosan dengan film Slasher yang menyajikann pembunuh misterius yang cukup mainstream, melihat Pooh membabi buta menghajar siapapun bukanlah pilihan buruk untuk merncari tontonan segar.

Ide Unik dan Kelam

Yang membuat saya sangat tertarik dengan film Winnie the Pooh: Blood and Honey adalah premis yang menggiring cerita kanak-kanak yang mungkin menemani masa-masa kecil kita, menjadi sebuah cerita gelap. Menjawab sebuah pertanyaan kelam;

“What if…”

“Bagaimana jika Christopher Robin meninggalkan Pooh dan kawan-kawan dengan tidak baik?”

Dan film Winnie the Pooh: Blood and Honey ini menjawab pertanyaan gelap tersebut.

Adaptasi kelam dari beberapa dongeng klasik ataupun cerita kanak-kanak bukanlah hal yang baru. Seperti film The Lure (2015) yang secara longgar mengadaptasi cerita The Little Mermaid dan memberikan nuansa gelap dan kelap pada filmnya. Kali ini Winnie the Pooh menjadi salahh satu dongeng anak-anak yang disulap menjadi film horror kelam.

Saya sendiri tidak membenci ide atau hal ini, karna saya snediri ingin melihat seberapa kelamnya sang sutradara maupun penulis naskah berhasil mengadaptasinya? Tentunya akan memberikan sebuah sajian baru bagi orang dewasa yang menikmati dongeng tersebut semasa kecilnya. Meskipun terdapat beberapa kontroversi terkait perilisannya, Film ini pun saya akui memiliki ide unik menjadikan Pooh dan Piglet jahat dan membenci manusia, terutama Christopher Robin.

Premis inilah yang akan menggiring alurnya kepada pembantaian yang dilakukan Pooh dan Piglet. Tentu saja, apa jadinya jika film slasher tidak memiliki kesadisan? Tenang saja Winnie the Pooh: Blood and Honey menyajikan kesadisan dan killing scene yang tidak dapat ditebak, bahkan saya pun hampir selalu gagal dalam menebak bagaimana Pooh dan Piglet akan membunuh kawannya.

Eksekusi Buruk Seburuk Akhlak Pooh

Tidak jarang menemukan film dengan premis maupun ide segar namun memiliki eksekusi yang buruk sehingga membuat filmnya sendiri mengecewakan, tidak memenuhi ekspetasi para penonton, hal ini lah yang terjadi pada Winnie the Pooh: Blood and Honey. Dimana film ini tterbilang cukup menyianyiakan potensinya yang cukup besar.

Winnie the Pooh: Blood and Honey merupakan film dengan pace yang cukup cepat, bahkan saking cepatnya, pada menit awal film dimulai kita sudha diperlihatkan sosok Pooh dan Piglet yang sudah tidak lagi friendly, yang mana menurut saya sendiri hal tersebut terbilang terlalu cepat sehingga tidak ada unsur misterius pada sosok Pooh dan Piglet yang kini sudah berwujud bagaikan monster.

Tidak butuh waktu lama juga bagi film ini untuk menghantarkan adegan pembunuhan yang dilakukan Piglet dan Pooh. Namun, saya sendiri memaklumi hal ini, dikarenakan jumlah film Slasher yang cukup banyak menampilkan first kill pada pembukaan film, termasuk Winnie the Pooh: Blood and Honeys ini. First kill pada film ini pun tidak mengecewakan dan terbilang standar saja, biasa, tidak ada spesialnya. Namun yang membuat saya cukup terganggu adalah ekspresi atau reaksi dari Christopher Robin sendiri. Entah itu kesalahan naskah atau memang aktornya, namun hal ini membuat first kill dari film ini tidak maksilmal dan terkesan comedics.

Setelah frist kill yang biasa saja ini, saya kira adegan pembunuhan ke depannya memiliki keunikan sendiri. Ternyata, dugaan saya benar. Hampir semua adegan pembunuhan/gore/kekerasannya sama sekali tidak bisa diprediksi. Seperti saat Pooh yang berada dalam mobil dengan mesin menyala dan lampu mobil yang menyorot sosok Piglet yang tengah memegangi palu tersebut dengan sang korban yang terikat tak berdaya. Piglet dengan ‘kerennya’ menginjak tubuh korban agar tidak kemana-mana, tentunya banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala saya pada saat itu.

‘Kenapa Pooh di dalam mobil?’

‘Kenapa Piglet berada di depan mobilnya sambil memegangi palu?’

‘Ini mau diapain si cewe ini?’

Awalnya saya kira bahwa sang korban akan dibunuh dengan cara digetok kepalanya menggunakan Palu ternyata pupus sudah, Pooh mengeksekusi sang korban dengan cara menggilas kepalanya perlahan menggunakan mobil. Yang mana saya sendiri tidak menyangkan akan hal tersebut. Dan itu hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak adegan tak terduganya.

Eksekusi terhadap pace pun semakin berantakan dalam setiap menitnya. Mungkin dikareakan sosok Pooh yang kini sudah tidak lagi misterius, sang sutradara kebingungan untuk menambah bumbu apalagi yang harus diberikan terahdpa film ini agar alurnya terus maju, dikarenakan alurnya sendiri cukup stagnan dan tidak kemana-mana. Tidak ada yang spesial pula pada babak-babak berikutnya, pengeksekusian konfliknya pun selalu tanpa dasar.

Dengan eksekusi alur yang negbut bagaikan mobil balap ini menjadikan Winnie the Pooh: Blood and Honeys tidak memiliki pegangan kuat akan pondasinya. Rhys Frake-Waterfield dan A.A. Milne nampak sudah kebingungan untuk emmbuat konflik demi konflik bermunculan, sehingga dengan susah payahnya mereka berusaha untuk mengambil remahan konflik yang sudah tercecer pada babak awal dan menaruhnya pada babak selanjutnya. Menjadikan konflik pada babak berikutnya terkesan dipaksakan dan banyak sekali plot hole yang bertebaran.

Pooh dan Piglet Versus Bukan Christopher Robin

Yang awalnya saya mengira bahwa Christtopher Robin adalah main character kita, sosok yang akan kita ikuti perjalanannya melawna Pooh dan kawan-kawannya yang sudah buas dan tidak ramah lagi, ternyata salah besar! Karakter utamanya bukanlah Christopher Robin, melainkan gadis-gadis remaja yang tengah berlibur dan kebetulan saja berada di lokasi dimana Pooh dan Piglet hangout.

Kelima gadis itu adalah Maria (Maria Taylor), Jessica (Natasha Rose Mills), Alice (Amber Doig-Thorne), Zoe (Danielle Ronald), Lara (Natasha Tosini) tentunya cukup mengejutkan bagi saya sendiri, karna semua dugaan saya terhadap konflik utama film ini yang mana sedari awal film ini dimulai sudah terlihat aarah tujuannya kemana malah melenceng, dan hal ini nampak terkesan dipaksa.

Menjadikan Christopher Robin bukan seorang karakter utama adalah sebuah kesalahan terbesar film ini. Memberikan lima gadis random ini sebagai karakter utama menjadikan film ini tidak memiliki ikatan kuat anatara sang pembunuh dan Korbannya. Kita lihat saja pada film Scream, Halloween atau film slasher lainnya, hampir semua karakter utama memiliki ikatan konflik terhadap sang pembunuh utamanya. Sehingga sangat amat sulit untuk mengikuti perjalanan kelima gadis ini dalam bertahan diri dari Piglet dan Pooh, terlebih lagi mereka nampak seperti karakter dengan karakteristik layaknya selembar kertas kosong, yang mana mereka rajin sekali untuk melakukan hal-hal diluar nalar dan membuat saya menepok jidat berkali-kali.

Saya mengakui, untuk sebuah film indie, film ini memiliki sinematografi yang indah, bahkan tak terasa murahan. Sosok Pooh dan Piglet pun cukup menyeramkan dan membuat saya tidak nyaman saat melihatnya. Namun hal ini harus tertutupi dengan buruknya alur dan akting para pemainnya, meski tak semuanya.  Bahkan scoring nya pun tidak terlalu buruk. Namun yang sangat terlihat pada keterbatasan budget ini, hadir pada killing scene nya yang mana cukup terlihat canggung dan fake.

Kemudian, saya sendiri cukup meringis ketika melihat film ini yang lama kelamaan entah mengapa menjadi seperti memiliki maksud tertentu. Cukup banyak sekali adegan wanita yang diikat atau korbannya diikat dengan pakaian yang cukup…yah seperti itulah. Beberapa scene yang menampilkan tubuh wanita yang cukup terbuka dan bahkan tidak memiliki konteks terhadap alurnya pun seharusnya ditiadakan saja, karna esensinya pun tidak ada pada film nya. Bahkan entah mengapa, Piglet dna Pooh senang sekali menabok korban-korbannya. Itu adalah tanda tanya terbesar saya, dan membuat saya tertawa terbahak-bahak sepanjang film.

Kesimpulan

Pada akhirnya Winnie the Pooh: Blood and Honey tidak berhasil untuk memenuhi ekspetasi saya. Dengan premis yang menarik, seharusnya film ini tetap menajdikan Christopher Robin sebagai karakter utamanya, daripada memberikan porsinya pada gadis-gadis random tanpa tujuan yang tak memiliki ikatan pada Pooh atau Piglet itu sendiri. Winnie the Pooh: Blood and Honey sendiri sebenarnya bukanlah film yang bagus, terbilang buruk, mungkin sangat buruk. Namun bagi kalian yang hanya ingin mencari tontonan hiburan dan segar, mungkin film ini bisa menemani anda dengan berbagai adegan ‘lawak’ nya.

Rating


15%

 

 

Komentar