- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Diposting oleh
Sam Michaelis
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bagaimana jika sebuah pandemi mematikan melanda negara kita? Oh tentunya hal tersebut sudah terjadi, Covid-19 sendiri menyebar dan memaksa hampir seluruh negara melakukan lockdown demi mencegah penyebaran virus ini. Namun, bagaimana jika virus tersebut bukanlah virus Covid-19? Virus tersebut tidak hanya menyebabkan flu, namun merubah orang-orang menjadi gila dan haus akan kekerasan. Sehingga, orang-orang slaing menyerang dan membunuh satu sama lain, inilah yang terjadi pada film The Sadness.
Sinopsis
Film The Sadness menceritakan mengenai virus Alvin yang telah menginveksi sebagian besar warga Taiwan. Virus tersebut memiliki gejala yang sama seperti flu biasa, yang membuat sebagian warga tak sadar telah terinfeksi virus tersebut, namun sipapapun yang terinfeksi virus alvin akan menjadi sangat berbahaya. Virus alvin akan membuat penderitanya menjadikan monster yang haus akan kekerasan dan tak segan menghabisi siapa saja dengan cara yang amat brutal dan sadis. Di tengah kekacauan yang terjadi, sepasang kekasih —Jim (Berant Zhu) dan Kat (Regina Lei)— berusaha untuk bertahan hidup dan kembali bertemu lagi. Akankah mereka selamat dan kembali bersama?
Serangan Virus Alvin
Saat mengetahui film The Sadness ini, saya sendiri tidak tau mengenai film ini secara terperinci, saya hanya membaca sinopsis pendeknya saja yang mendeskripsikan mengenai ‘wabah’ . Saat saya membaca kata wabah tersebut, pikiran saya langsung membayangkan film zombie, karna film yang mengungkit mengenai soal virus maupun wabah sendiri identik dengan zombie. Namun, ternyata apa yang saya harapkan sebelumnya ternyata cukup jauh dari ekspetasi. Saat menonton film The Sadness saya langsung speechless dan sedikit tertawa —karena tidak pernah menyangka bahwa filmnya akan seperti ini.
The Sadness sendiri dibuka dengan memperkenalkan dua karakter utama yang akan kita ikuti perjalannya. Kita diperkenalkan kepada Kat dan Jim, yang tengah bersiap-siap memulai paginya. Jim pun mengantar Kat yang harus bekerja, namun dalam perjalananya, mereka melihat sebuah pemandangan mengerikan, yaitu seseorang yang nampak gila tengah ditangkap oleh polisi, dan tak jauh dari polisi tersebut, ada mayat yang terkapar di atas brankar ambulans. Usai mengantar Kat ke tempat kerjanya, sebelum pulang, Jim mampir terlebih dahulu ke sebuah kedai. Namun, siapa sangka, di kedai tersebut, Jim menyaksikan seorang nenek-nenek menyerang konsumen di kedai tersebut, yang mana terjadilah kekacauan. Dengan cepat, orang-orang di kedai tersebut terinfeksi oleh virus yang menjadikan mereka gila dan haus kekerasan. Disinilah awal mula Jim harus bertahan hidup demi mencoba menyelamatkan kekasihnya dari kegilaan itu.
Film The Sadness yang merupakan arahan dari Rob Jabbaz ini benar-benar sangat mampu membuat saya speechless sedari awal film ini dimulai. The Sadness sendiri tidak membutuhkan waktu lama untuk menampilkan bertapa mengerikannya infeksi dari virus Alvin yang mengubah orang-orang menjadi gila dan haus kekerasan. Pada babak awal, kita sudah disuguhkan oleh scene sadis dan cukup mengejutkan, tentu saja siapa yang tidak terkejut melihat seseorang disiram minyak panas? Saya sendiri tidak menyangka film garapan Rob Jabbaz sangat cepat untuk memunculkan konfliknya, dan menunjukkan bagaimana mengerikannya virus Alvin ini. Kemudian Rob Jabbaz tentunya tidak mengerem ataupun menurunkan kadar kekerasan yang ada dalam filmnya, di babak satu secara penuh kita akan melihat kebrutalan yang cukup menjijikan dari para warga yang terinfeksi ini.
Kebrutalan yang Sangat Amat Eksplisit
Sebuah saran keras untuk tidak menonton film ini bagi yang tidak kuat dengan gore. Rob Jabbaz sendiri tidak malu-malu untuk menampilkan kegilaan-kegilaan diluar nalar manusia untuk menyiksa dan membunuh orang-orang tak berdosa. Mungkin bagi orang-orang yang sangat menyukai film splatter ataupun gore, Film The Sadness adalah surga bagi mereka. Mungkin kata ‘Ekstrim’ dan ‘Gila’ adalah kata yang tepat untuk menggambarkan betapa mengerikannya adegan kekerasan atau gore dalam film ini. Bahkan saya sendiri cukup syok melihat gore-gore yang bertebaran dalam film ini. Langsung berpikir bagaiman bisanya Rob Jabbaz dengan pandai dan tentunya ngerinya mengeksplor sampai sejauh mana kesadisan, kebrutalan, manusia akan terjadi?
Sejak babak satu, saya langsung menyimpulkan bahwa The Sadness akan lebih condong untuk mengeksplorasi bagian gila dari orang-orang terinfeksi virus alvin tersebut. Akan terus menunjukkan betapa gila dan brutal orang-orang tersebut, dan tentunya semakin membuat atmosfir dalam film The Sadness semakin mengerikan. Orang-orang dalam film ini sendiri tidak bisa dicap sebagai zombie, karena mereka masih memiliki akal untuk berpikir (meskipun kini hanya dipenuhi oleh hasrat untuk menyiksa dan membunuh orang), tentunya konsep ini mengingatkanku pada sebuah komik yang mengambil konsep sama (sebuah kebrutalan manusia yang terinfeksi) berjudul Crossed.
Seberapa brutal sih film ini? Rob Jabbaz sendiri tidak sungkan untuk menampilkan darah yang muncrat ke seluruh lorong kereta, potongan-potongan tubuh, atau siksaan-sikaan yang dilakukan para terinfeksi kepada orang-orang. Bahkan Rob Jabbaz memastikan bahwa semua orang dalam The Sadness menjadi korban atas kesadisan yang terinfeksi, termasuk para bayi. Para terinfeksi pun tentunya melakukan hal gila yang benar-benar di luar batas kewarasan, contohnya; melakukan kekerasan seksual (seperti bersenggama dengan mata seseorang), membenturkan kelamin seseorang ke tiang berkawat, dan masih banyak lagi. Bahkan saat saya menonton pun, saya tidak segan untuk meringis ngilu melihat seluruh adegan gila tersebut, mungkin Rob Jabbaz akan tertawa melihat kondisi saya saat menonton film The Sadness.
Saya sendiri sangat amat mengapresiasi tim SFX yang berkerja untuk film The Sadness, karena telah menampilkan adegan-adegan sadis yang sungguh realistik, bisa dibilang ngilunya menjelajah keluar layar. Saat menontonnya saja saya sama sekali tidak merasa aneh melihat adegan demi adegan sadis yang berlangsung, tidak merasa aneh dalam artian seluruh adegannya terasa natural, meskipun memang ada beberapa adegan darah yang didramatisir untuk menimbulkan efek sadis yang lebih menendang. Tapi seluruh adegan sadis ini sangat dapat ‘dinikmati’ karena kegilaan, kebrutalan dan kenaturalannya.
Alur Cerita yang Nampak Timpang dengan Kekerasannya
Sebagai sebuah film Horror Splatter maupun Gore, The Sadness sangat amat harus diacungi jempol. Namun, ketika ditanya mengenai alur ataupun naskahnya, inilah kelemahan dari film The Sadness. Alur dari The Sadness sendiri cukup sederhana, bahkan bisa dibilang mirip-mirip konsepnya dengan Train To Busan, dimana sang karakter utama berusaha untuk bertahan hidup dari warga yang terinfeksi.
The Sadness sendiri memiliki pace yang cepat, sehingga seluruh konflik yang hadir dalam film ini disuguhkan tanpa basa-basi. Dengan pace yang cepat itu, The Sadness berhasil untuk membangun ketegangan yang sangat amat mencekik. Di babak awal saja kita sudah diperlihatkan pada Jim yang dikejar-kejar oleh sekelompok orang terinfeksi, dan Kat yang mencoba bertahan hidup di kereta yang dipenuhi orang terinfeksi. Ketegangan ini sangat amat terbangun dengan baik, namun hal ini bisa menjadi pisau bermata dua, entah apakah film ini berhasil untuk tetap menjaga tensi nya agar tidak jatuh di babak berkutnya, atau malah gagal untuk menjaga tensi tersebut.
Di babak pertama menuju babak kedua, The Sadness memberikan tensi yang sangat amat mencekik, bahkan saya cukup terkejut dengan tensi yang terjaga dalam setiap konflik yang berlangsung. Meskipun kita hanya melihat Jim berkendara motor keliling untuk mencari cara bertemu dengan Kat lagi, melihat kosongnya kota —hanya dipenuhi oleh mayat-mayat—tidak dapat dipungkiri, kita akan merasa was-was karena kita tidak pernah tau kapan yang terinfeksi itu bisa muncul dan menyerang. Hal tersebut pun sama dengan posisi Kat, yang sama-sama memegang tensi setara dengan kondisi Jim. Bahkan porsi Kat bisa dibilang lebih sedikit dibanding Jim —yang sedari awal kita sudah disuguhkan adegan-adegan menegangkan dari Jim— tapi adegan Kat pun masih memegang tensi dengan baik, dengan kekerasan brutal yang tidak disangka-sangka dan cukup memorable.
Tensi The Sadness pun sedikit menurun pada babak kedua, memberikan sebuah ruang bernafas dan gerak kepada penonton untuk memproses seluruh kekacauan dalam film ini. Kita melihat bagaimana keadaan korban-korban yang selamat dan diberikan pula informasi mengenai kondisi pemerintahan. Tentunya hal ini memberikan kita pandangan mengenai apa yang terjadi pada The Sadness secara luas, namun informasi yang diberikan itu nampak masih mandek dan tersendat, bahkan bisa dibilang sangatlah tanggung.
Saat pada babak kedua kita sudah diberitahu mengenai pemerintah yang masih ‘hidup’ namun tentunya tidak sebaik yang dikira. Informasi yang diberikan pada babak kedua itu nampoak sudah berhenti saja pada babak kedua, kemudian pada babak ketiga tidak ada informasi lanjut mengenai kelanjutan kondisi pemerintah. Cukup disayangkan, karena sedari awal The Sadness menyuguhkan mengenai satir mengenai para masyarakat yang sudah tidak mempercayai pemerintah lagi, menggunakan masa-masa pandemi sebagai alat dalam pemilu yang akan datang, sehingga masyarakat juga tidak percaya dan menganggap virus Alvin adalah hoax, dan hal ini pun tidak dikembangkan lebih lanjut, sehingga membuat informasi yang cukup penting dalam pengembangan alur tersebut nampak tak berguna.
Alur pada babak awal bisa dibilang ditata dengan baik, tentunya seperti yang saya bilang sebelumnya, dengan tensi yang dibangun dengan amat indah. Namun, nampaknya Rob Jabbaz tidak bisa mempertahankan hal tersebut pada babak kedua dan ketiga. Babak kedua tentunya kita diberikan rasa aman dan nyaman, dan dibangun dengan baik, namun semuanya runtuh pada babak ketiga. Babak ketiga terlihat sangat terburu-buru, seluruh konflik yang terjadi nampak muncul dengan tiba-tiba dan penyelesaiannya bisa terjadi dengan cepat, bahkan secara kebetulan sekali. Hal ini membuat film The Sadness nampak seperti kehilangan arah dan tidak tau bagaimana penyelesaian atas konflik-konflik yang terjadi, atau bisa saja dikarenakan terhalang budget, entahlah. Namun dengan babak tiga yang nampak biasa saja, bisa dibilang gagal untuk mengimbangi babak kedua dan pertama, bahkan endingnya pun bisa ditebak dengan mudahnya. Menjadikan The Sadness berakhir dengan anti-klimaks yang tak matang, dan ending yang bahkan out of nowhere.
Beruntungnya hal teresebut dapat ditutupi dengan gore yang sudah disuguhkan pada babak kedua dan pertama, sehingga kekurangan dalam alur ini bisa terselamatkan. Untuk para aktor dan aktris, performa mereka bisa dikatakan cukup, meskipun terkadang saya cukup terganggu dengan Regina Lei, yang nampak kurang mengeluarkan emosinya dalam performanya, sehingga Kat nampak memiliki ekspresi yang hampir sama dalam setiap adegannya. Saya sendiri sangat mengacungi jempol untuk pemeran The Businessman (Tzu-Chiang Wang) yang mampu memberikan sebuah karakter yang amat mengerikan dan membuat parno, meskipun minim dialog dan hanya dengan seringainya saja sudah memunculkan rasa takut.
Kesimpulan
Pada akhirnya, sebagai sebuah film Horror, The Sadness sangatlah bagus. Dengan menyuguhkan dan mengutamakan gore, dan atmosfernya yang kelam serta tensinya yang dibangun dengan amat baik. Dengan segala keunggulan itu, The Sadness lemah dalam hal narasinya, namun hal tersebut masih bisa terbantu dengan unsur lainnya yang ada dalam filmnya. Sehingga kelemahan dari The Sadness sendiri tidak begitu menonjol. The Sadness, kini menjadi film ‘zombie’ terbrtual, tersadis, dan paling gila yang pernah saya tonton sampai sekarang.
Rating
70%
Komentar
Posting Komentar