Review: Achoura (2018) - Potensi Horror yang Runtuh

 


Film horror mengenai suatu folklore bukanlah hal baru, beragam film-film hadir berdasarkan folklore atau cerita-cerita seram, seperti; Kandisha, Antlers, dan Baba Yaga. Achoura merupakan salah satu film yang mengangkat folklore sebagai tema ceritanya, menceirtakan monster yang mengincar anak-anak pada malam Ashura.

Sinopsis

Film Achoura menceritakan mengenai empat sekawan; Nadia (Sofiia Manousha), Ali (Younes Bouab), Stephen (Iván González) dan Samir (Omar Lotfi), yang kembali reuni setelah salah satu dari mereka menghilang. Namun, kembalinya salah satu dari empat sekawan tersebut membawa teror yang duluy menghantui mereka semasa kecil dan menjadi akar dari menghilangnya sang kawan. Kini empat sekawan tersebut berusaha untuk menghentikan terror iblis yang mengancam keselamatan mereka dan anak-anak kecil.

Terror di Moroko

Film ini sendiri dibuka dengan sekelompok anak-anak yang tengah berpesta ria di malam Ashura. Bashira (Celine Hugo) dan seorang anak lelaki kabur dari pesta tersebut. Ternyata, Bashira merasa ia tidak aman dalam pernikahannya, yang mana suaminya merupakan sosok yang abusif. Bashira dan anak lelaki tersebut ternyata memiliki perasaan kepada satu sama lain. Namun siapa sangka, malam tersebut menjadi malam yang mengerikan bagi Bashira dan sang anak lelaki, saat mereka tak sengaja bertemu dengan sesosok monster/iblis.

Film Achoura ini sendiri memiliki setting di Moroko, tentunya terror iblis yang hadir dalam film ini sendiri hadir dari culture atau folklore asal Moroko. Mengangkat mengenai iblis yang muncul pada malam Ashura dan mengambil anak-anak sebagai mangsanya. Awal mula mengapa saya memutuskan untuk menonton film ini adalah karena posternya yang nampak indah, seperti film fantasy horror, terlebih lagi premisnya cukup menarik, membuat saya semakin penasaran dengan filmnya.

Saat saya mulai menonton film ini, entah mengapa saya langsung teringat pada film Kandisha yang sama-sama mengusung sebuah terror folklore asal Moroko, dan karakternya pun sama-sama sekelompok sahabat yang terjebak dalam terror akibat iblis/monster tersebut. Memang alur yang disajikan terbilang cukup mainstream, namun hal tersebut tidak menghentikan saya untuk menononton film ini. Karena dengan premis yang cukup mainstream, bisa saja sang sutradara akan mengeksekusinya secara berbeda dan unik dari yang lain.

Horror pada Malam Ashura

Achoura yang merupakan film arahan dari Talal Selhami ini bisa dibilang memiliki pace yang normal dan cenderung lambat. Namun, meskipun begitu film Achoura ini cukup cepat untuk masuk ke dalam konflik inti dari film ini. Tidak butuh waktu yang lama untuk memahami apa yang tengah dihadapi para karakter dalam film ini.

Pertemanan adalah tema dari film ini. Bagaimana pertemanan masa kecil mulai renggang saat kita menginjak dewasa, semuanya memiliki kesibukan masing-masing dan problematika sendiri. Terlebih lagi terkadang kita mulai melupakan memori-memori bersama kita sewaktu masih kecil, itulah yang menjadi salah satu tema dari Achoura ini. Bagaimana pertemanan yang mulai renggang tersebut kembali disatukan lewat terror yang kembali hadir bersama memori-memori masa kecil mereka. Meskipun Nadia dan kawan-kawan sudah mulai melupakan beberapa memori mereka semasa kecil, namun mereka masih sama-sama mengingat terror apa yang mereka lalui dan hadapi semasa kecil.

Misteri merupakan senjata utama dalam film Achoura ini. Tidak bisa dipungkiri, Achoura memiliki pegangan misteri yang cukup kuat, dengan beragam pertanyaan sepanjang alur film, dan perlahan-lahan mulai menguak dan menjawab misteri yang ada. Misteri yang disuguhkan oleh Talal Selhami ini bisa dikatakan cukup baik, mengingat kita juga disuguhkan penelusuran ala-ala detrektif oleh Ali saat menghadapi kasus seorang anak yang menghilang. Tentunya banyak ragam pertanyaan, apakah benar ini akibat monster yang hadir pada malam Ashura, ataukah ulah manusia? Achoura nampak baik untuk menjabarkan dua kemungkinan ini.

Misteri dan tensi antar karakternya pun nampak digambarkan dengan baik. Ali merupakan sosok suami yang gagal dalam membangun hubungannya dengan sang anak dan istri —Nadia—ia terlalu terpaku pada pekerjaannya sampai-sampai rela selama 24 jam duduk menatap layar monitor demi memecahkan suatu kasus, Nadia juga yang memiliki hubungan yang cukup tegang dengan sang kawan —Stephen, yang merasa Nadia tidak memedulikan kenangan mereka semasa kecil. Seluruh ketregangan antar karakter ini menimbulkan suatu konflik yang cukup baik. Namun entah mengapa, meskipun film ini terbilang memiliki pace yang cukup lambat, Achoura nampak kurang luwes dalam memperkenalkan dan menggali karakter-karakter utamanya secara lebih dalam, mengakibatkan kita tak begitu mengenal dan memahami ikatan pertemanan mereka secara penuh.

It vs. Achoura?

Tidak dapat dipungkiri, ketika saya menonton film ini, saya merasa bahwa film Achoura ini nampak memiliki arus yang sama dengan film It (2017). Dari plot film dan konflik, Achoura berada pada arus yang sama dengan film It. Sekawan yang berhadapan pada sosok monster saat mereka masih anak-anak dan berlanjut hingga mereka dewasa, dan yang lebih membuat saya semakin yakin bahwa film Achoura benar-benar berada pada arus yang sama adalah, sekawan ini sama-sama membuat suatu perjanjian yang mana mengharuskan mereka tidak boleh melupakan insiden mereka dengan monster tersebut pada saat mereka masih kecil, dan pada saat mereka dewasa akan mebalui berusaha mengalahkan monster tersebut lagi. Monster yang mereka hadapi pun sama-sama mengincar anak-anak.

Jika It membutuhkan dua part untuk membagi cerita pada masa kanak-kanak dan dewasa, Achoura tidak membutuhkan hal itu, yang mana inilah menjadi suatu kelemahan terbesar dari film Achoura. Alur maju mundur ini sebenarnya menjadikan film Achoura berbeda dengan film It. Gaya penceritaannya cukup original, tanpa membuang-buang waktu langsung menyuguhkan dua periode waktu. Sayangnya penataannya lah yang menjadikannya alur maju mundur ini tidak begitu wah.

Film Achoura nampak sangat lemah dalam penceritaan dan penataannya. Scene saat mereka masih kecil dan dewasa nampak bertabrakan dan tidak ada pengiringnya, sehingga scene tersebut nampak loncat-loncat dan sedikit janggal. Film Achoura sendiri terlihat kebingungan untuk menempatkan scene masa kanak-kanak Nadia dan gengnya, alih-alih menjadikan sebuah sajian yang mudah dicerna dan lancar, Achoura nampak merusak tatanan alur dan tensi yang sudah dibangun, sehingga menciptakan plot-hole. Terkadang scene mereka dewasa tengah berada pada tensi yang cukup baik, tiba-tiba drop pada scene mereka masa kanak-kanak yang sangat santai dan lambat, menjadikan kita seperti naik sebuah rollercoaster yang hanya ada jalur naik turun saja.

Secara visual, beruntungnya Achoura memiliki visual yang cukup bagus, pengambilan gambarnya pun baik. Dengan beberapa adegan yang memicu adrenalin dan jumpscare yang tidak lebay, menjadikan Achoura memiliki potensi horror yang cukup baik. Scoring dalam film Achoura ini sendiri sangat bagus, entah mengapa hal yang paling menonjol dalam film achoura ini sendiri adalah scoring nya. Pembangunan musik pada adegan yang hendak memberikan jumpscare pun tidak lebay dan ditata dengan baik, musiknya nampak pas pada adegan yang tengah tegang, seram, ataupun santai.

Meskipun Achoura secara visual terbilang cukup baik, saya sendiri tidak akan menyangkal bahwa CGI pada Achoura ini buruk, tidak buruk sekali, namun buruk dalam artian tidak membaur dan terlihat sekali bahwa itu adlaah CGI. Yang sangat disayangkan adalah CGI pada monster, entah mengapa mungkin akan lebih menendang jika monster dalam film ini tidak sepenuhnya menggunakan efek CGI. Lihat saja Kandisha—film yang sama-sama memuat folklore asal Moroko— menggunakan efek praktikal dan mungkin sedikit campur CGI untuk sosok Kandishanya, hasilnya? Sangat bagus. Monster CGI ini sendiri membuat saya tidak takut pada wujudnya, sehingga sepanjang film jumpscare yang hadir tidak begitu  efektif untuk saya dikarenakan tampilan monster yang seperti kartun itu, alhasil tensi yang sudah dibangun seperti runtuh begitu saja. Terlebih lagi, ada beberapa scene yang memang bersetting di kegelapan, namun karena begitu gelapnya, saya sendiri kesulitan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, dan terlihat seperti ingin menutupi CGI yang buruk

Akting dari para pemain dewasa sangatlah bagus, mereka berhasil untuk memerankan perannya masing-masing, menujukkan konflik mereka secara emosional kepada para penonton. Namun, yang menjadi sebuah permasalahan adalah akting dari anak-anak dalam fil Achoura ini yang nampak kurang maksimal. Memang sangatlah sulit untuk mencari aktor cilik yang sangat luwes, sehingga mungkin hal ini bisa dimaklumi oleh saya.

Meskipun dengan berbagai kekurangan di atas. Achoura memiliki ending yang cukup kelam dan mengerikan bagi saya. Dengan tidak begitu menunjukkan hasil dari pegulatan empat sekawan dengan monster tersebut, menjadikan ending Achoura ini meninggalkan suatu terror yang cukup kelam.

Kesimpulan

Achoura bukanlah film yang buruk, namun kurang bagus bagi saya. Meskipun begitu Achoura memiliki premis yang cukup menarik, karakter-karakter yang cukup menarik dan ending yang kelam, alurnya pun menyimpan banyak sekali misteri dengan atmosfer yang kelam. Namun karna berada di arus yang sama dengan film It, menjadikan Achoura sedikit tidak original. Pace film ini pun nampak berantakan dikarenakan dua priode yang saling beretabrakan dan bertransisi kurang rapih, tak hanya itu ada beberapa adegan yang memang nampak di-cut dengan kasar, sehingga terasa melompat. Pada akhirnya Achoura hadir sebagai film horror yang memiliki potensi unik namun gagal dalam pengeksekusiannya.

Rating


40%



Komentar