Review: Kandisha (2021) - Terror Iblis Asal Moroko

 



Masa remaja adalah masa yang digunakan untuk mencari jati diri, ataupun melakukan hal-hal gila lainnya. Mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya demi rasa penasaran semata. Aturan mungkin hal yang tidak begitu diperhatikan banyak remaja dalam bersenang-senang, mengutamakan rasa puas dan bahagianya adalah keharusan. Kemudian konsekuensi datang menghantam dengan cepat atas aksi yang mereka lakukan. Tentunya dalam film Kandisha ini, konsekuensi pahit yang harus ditelan oleh sekelompok remaja ini tidak akan mudah diselesaikan begitu saja.

Sinopsis

Film Kandisha menceritrakan mengenai, tiga remaja putri; Amélie (Mathilde Lamusse), Bintou (Suzy Bemba) dan Morjana (Samarcande Saadi) yang kini hidupnya dihantui oleh iblis yang membunuh pria-pria di sekitar mereka. Sebuah ritual yang dilakukan oleh Amélie lah yang menjadi awal mula petaka yang terjadi, mengakibatkan kutukan dari iblis Kandisha turun ke tiga remaja tersebut, membunuh pria-pria yang mereka cintai dengan sadis. Ketiga remaja ini pun harus mencari cara untuk memutus kutukan ini, apakah mereka berhasil melakukannya?

Mitologi Kandisha

Film Kandisha yang disutradarai oleh Alexandre Bustillo dan Julien Maury, mengangkat suatu mitologi asal Moroko dengan unsur islamik, yaitu Kandisha. Kandisha sendiri diceritakan sebagai iblis wanita yang penuh dendam, akan menghasut/menggoda para pria yang kemudian untuk ia bunuh. Miytologi Kandisha sendiri sudah menjadi sebuah premis yang menarik untuk film garapan Alexandre Bustillo dan Julien Maury ini.

Kandisha sendiri merupakan film Supranatural-slasher, yang mana kalian akan mendapati darah berceceran dan potongan-potongan tubuh di film ini. Bukanlah hal yang aneh jika mendapati gore dalam film ini, mengingat Alexandre Bustillo dan Julien Maury adalah sutradara dari film Inside (2007). Menjadikan film Kandisha sebagai film Supranatural-slasher adalah sebuah pilihan yang menarik, mengingat akhir-akhir ini cukup banyak film supranatural yang lebih condong ke arah terror dan exorcism nya (The Conjuring, Insidious). Malignant adalah salah satu film Supranatural-Slasher yang cukup menyegarkan.

Dengan genre Supranatural-Slasher ini, film Kandisha berhasil untuk menampilkan betapa mengerikannya iblis wanita tersebut. Dibalik parasnya yang cantik Kandisha tidak segan untuk menghabisi para pria dengan sadisnya. Saya sendiri cukup lega ketika mendapati film ini tidak sekedar supranatural biasa yang mungkin hanya menampilkan penampakan-penampakan sekelibat atau portergeist semata, namun film ini dibarengi oleh kegilaan penuh darah dari iblis Kandisha itu sendiri.

Horror dan Gore yang Menarik

Meskipun film Kandisha ini hanya memiliki durasi 1 jam 25 menit, film garapan Alexandre Bustillo dan Julien Maury memiliki komponen gore maupun horror yang cukup padat dan efektif. Dengan durasi yang tidak begitu panjang, film Kandisha dengan baik merangkum bagaimana menunjukkan kengerian dari teror iblis itu sendiri, sembari memperlihatkan bagaimana ketiga remaja itu berusaha untuyk mematahkan kutukannya.

Film Kandisha tidak memiliki jumpscare yang dipaksakan, memang ada satu dua false-jumpscare, namun hal tersebut tidak sampai membuat saya risih dengan jumpscare yang disuguhkan oleh film Kandisha ini. Penampakan-penampakan Kandisha yang diperlihatkan di awal sebagai sosok wanita memakai penutup wajah dan gaun panjang pun diperlihatkan dengan efektif. Mengingat kita tidak secara penuh diperlihatkan pada sosok Kandisha, Alexandre Bustillo dan Julien Maury secara perlahan mencoba untuk membangun teror nya dengan memperlihatkan sosok Kandisha secara perlahan. Yang awalnya hanya melihat siluet nya saja, pada klimaks kita diperlihatkan wujud seram Kandisha, yang mana cukup efektif, mengingat sejak awal kita sudah dibuat penasaran dengan Iblis tersebut.

Permainan kamera dalam film ini pun membantu menambah atmosfir horror, terlebih lagi saat adegan Amélie pertama kali bertemu Kandisha di lorong apartemennya. Scene tersebut dibangun dengan baik dengan memainkan kameranya, membuat penonton merasa penasaran sekaligus tegang menunggu penampakan maupun jumpscare yang hadir, tentunya dibarengi scoring yang tak kalah menegangkan.

Pembangunan gore  dalam film ini pun tidak kalah dengan horrornya. Sama dengan bagaimana keuda sutradara itu menyusun fondasi atmosfir horror yang perlahan-lahan menjadi bukit, gore dalam film ini pun bekerja seperti itu. Pada first-kill terlihat biasa saja, kemudian lama kelamaan akan semakin sadis dan sadis saja. Namun, gore dalam film ini meskipun bersimbah darah, sangat disayangkan efek CGI nya masih terlihat kasar dalam beberapa kill. Terkadang killing scene yang ada dalam film ini terlihat kurang konsisten, yang mana ada yang diperlihatkan secara gamblang bagaimana Kandisha menghabisi korbannya, kemudian ada yang biasa saja langsung mengarah ke keadaan korban yang sudah tak bernyawa tanpa memperlihatkan bagaimana Kandisha menghabisinya.

Ketidak-konsistenan itu cukup menggangu, terlebih lagi Kandisha dikenal sebagai sosok sadis yang tak segan membunuh enam orang pria setelah ia dipanggil. Namun, killing scene yang kurang konsisten tersebut, membuat kebrutalan Kandisha tidak tergali secara baik meskipun kita melihat darah yang berceceran dimana-mana.

Identitas yang Hilang

Film Kandisha sendiri memiliki pace yang cukup cepat, mengingat film ini sendiri hanya memiliki durasi 1 jam 25 menit, yang mana membuat sang sutradara harus dengan cermat memasukkan unsur-unsur ceritanya ke dalam film. Saya sendiri tidak masalah dengan film yang memiliki fast-pace atau laju yang cepat —Willy’s Wonderland, Meander, The Void—bahkan saya juga menyukai film dengan alur maju tanpa sub-plot atau apapun itu.

Di babak pertama film Kandisha ini, kita diperkenalkan kepada remaja-remaja yang akan menjadi karakter utama dalam film ini, tentunya kita juga diperkenalkan kepada konflik-konflik internal mereka, yang mana akan menjadikan mereka karakter unik dan bukan karakter dua dimensi —seperti Morjana yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit—dan lainnya. Karakter-karakter utama ini diperkenalkan pada babak satu dengan baik, sehingga kita mengetahui latar belakang masing-masing karakter trio cewek ini.

Tapi, siapa sangka latar belakang yang sudah disuguhi pada babak awal ini, tidak memiliki peran apapun dlaam konflik mereka dengan Kandisha. Kandisha sendiri diperlihatkan hanya menyerang laki-laki saja, dan sayangnya karakter laki-laki dalam film ini nampak hanya seperti pajangan, mereka hadir seperti pion tanpa ruh yang siap dimatikan. Mungkin karakter yang paling dikenal ‘baik’ hanyalah kakanya Morjana atau mantannya Amelie—yang brengsek. Namun, karakter pria lainnya tidak memiliki karakteristik seutuh ketiga cewek ini, membuat saat mereka satu persatu dibantai oleh Kandisha tidak akan meninggalkan kesan mendalam. Menjadikan babak pertama yang separuh besar digunakan untuk perkenalan karakter nampak sia-sia, karena konflik-konflik internal yang sudah disuguhkan ini tidak memiliki peran pada durasi ke depannya.

Hubungan antar karakternya pun terasa sangat kaku dan banyak tanda tanya. Terkadang ditujukkan kawan dekatnya mati dengan sadis dibunuh oleh Kandisha, mereka menangis, kemudian berkata “Dia seperti saudara.” tapi kita jarang melihatnya sepanjang durasi berlangsung, dia hanya hadir cukup lama saat maut menjemput. Kemudian hubungan Morjana dengan Ustadz yang membantu mereka mengusir Kandisha pun sedikit membingungkan, kabarnya membantu orang tua Morjana, namun kita tidak pernah diceritakan lebih lanjut membantu apa dan siapa sebenarnya ustadz tersebut.

Kandisha sebagai villain utama pun nampaknya memiliki masalah yang sama dalam penggalian karakter. Kandisha yang berperan sebagai iblis menakutkan sendiri sudah hadir dengan cukup baik, dengan diceritakannya asal mula Kandisha dan bagaimana dia menjadi iblis dan sedikit imbuhan islamiknya. Namun, latar belakang Kandisha sendiri nampak kurang matang. Kurang matangnya latar belakang tersebut berhasil diselamatkan oleh penampakan-penampakan Kandisha yang cukup apik dan menyeramkan, membuat kita melupakan Kandisha dan latar belakang islamik nya itu.

Alur film ini sendiri tidak bertele-tele dan terbilang to-the-point dan sangat mudah untuk diikuti. Akting dari para pemainnya terbilang pas-pasan tapi tidak buruk sekali, masih bisa dimaafkan dan dinikmati aktingnya. Namun, yang sedikit menganggu adalah pengembangan alurnya yang sbeelumnya saya bahas seperti pengembangan pada karakternya, dan kini pengembangan pada lore nya Kandisha. Yang mana sedikit membuat saya kebingungan atas kekonsistenannya. Dikatakan bahwa Kandisha hanya akan memangsa enam pria, namun geng trio ini masih mencoba menghentikan Kandisha dimana korbannya sudah enam orang pria, bahkan bisa jadi lebih dari enam, namun Kandisha masih saja meneror mereka. Ada sebuah ketidakonsistenan disitu, atau memang lupa.

Kesimpulan

Film Kandisha hadir sebagai film horror supranatural-slasher yang cukup ringan dan to-the-point. Kandisha sendiri cukup bisa dinikmati, namun yang membuat Kandisha terjun bebas adalah karena perkembangan karakter yang sangat amat hambar dan babak satu yang nampak disia-siakan. Konflik Kandisha dan geng trio itu pun nampak terasa kurang matang. Sebagian besar karakter dalam film ini hadir sebagai pion yang siap diterkam kapan saja tanpa memiliki kepribadian. Terdapat beberapa tanda tanya pada alurnya juga, seperti lore nya Kandisha, atau kekonsistenan pembunuhan Kandisha, atau bahkan hubungan antar karakternya. Pada akhirnya Kandisha kembali hadir sebagai film horror remaja biasa, dengan unsur mitologi yang nampak sia-sia.

Rating


40%

 

Komentar