Review: We're All Going to the World's Fair (2022) - Creepypasta Mengenai Role-Playing Game Horror

 


Siapa yang tidak mengenal Role-play. atau Creepypasta? Siapapun yang sangat gemar untuk menghabiskan waktu di Internet, pastinya tidak asing dengan kedua istilah tersebut. Kedua istilah tersebut juga cukup ramai dan diketahui oleh banyak pengguna internet. Creepypasta yang merupakan cerita-cerita horror mengenai suatu legenda ataaupun mitos yang disebarluaskan di Intersent sampai menjadi suatu hal yang booming. Sedangkan, Role-play sendiri merupakan suatu permainan peran yang mengharuskan kita melakukan suatu peran berdasarkan 'dunia' yang kita masuki. Namun bagaimana jika Role-play dan Creepypasta menjadi satu? Hal ini terjadi pada film debut garapan Jane SchoenbrunWe're All Going to the World's Fair.

Sinopsis

Film We're All Going to the World's Fair menceritakan mengenai seorang remaja bernama Casey (Anna Cob) yang mengikuti suatu tantangan di internet bernama The World's Fair Challenge. Tantangan tersebut merupakan permainan Online Role-playing horror game, yang mengharuskan para pesertanya melakukan ritual terlebih dahulu untuk mengikutinya, dan berinteraksi dengan peserta lain untuk terus melanjutkan permainannya. Namun, siapa sangka The World's Fair Challenge tersebun perlahan membuat Casey tidak bisa membedakan mana yang nyata atau tidak.

Selamat Datang di World’s Fair Challenge

We're All Going to the World's Fair, merupakan film debut dari sang sutradara Jane Schoenbrun dan juga sang pemeran utama, Anna Cob. We're All Going to the World's Fair sendiri dibuka dengan Casey yang nampak hendak melakukan ritual World’s Fair Challenge sembari mendokumentasikannya. Kemudian, dari sana kita langsung mengikuti bagaimana Casey mulai masuk ke dalam challenge tersebut dan merasakan dirinya berubah perlahan.

Film ini sendiri cukup kental dengan unsur creepypasta-nya. Siapa yang tidak kenal dengan creepypasta? Mungkin sebagian orang akan merasa asing dengan konsep creepypasta ini sendiri, tapi mereka tidak akan asing dengan hasil dari creepypasta tersebut yang sudah melahirkan berbagai monster maupun ritual mengerikan, seperti Slenderman atau Bloody Marry, dan film ini pun mengambil sebuah konsep dari ritual-ritual yang tersebar di creepypasta dan diperlihatkan bagaimana jika seorang gadis remaja yang polos mengikuti ‘ritual’ ini. Membuat Casey perlahan mulai terjatuh pada lubang realitas World’s Fair dan perlahan mulai melupakan dunia nyatanya dan kesulitan untuk membedakan apa yang nyata dan tidak. Hal inilah yang menjadi sumber dari konfliknya, bagaimana Casey tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak.

Kengerian Nyata dari Internet

Mungkin beberapa orang sudah tidak asing dengan film-film yang menggunakan internet sebagai tema utamanya, seperti film Unfriended, dan sekuelnya, atau Host yang memiliki konsep ritual juga sebagai gerbang konfliknya. We're All Going to the World's Fair juga menggunakan internet dan ritual sebagai gerbang konfliknya, namun sajian dari film ini berbeda dari beberapa film yang saya sebutkan sebelumnya. We're All Going to the World's Fair memiliki penceritaan yang tidak biasa atau non-traditional, yang mana biasanya film-film akan memiliki alur yang cukup jelas dan runut tanpa terputus. Film garapan Jane Schoenburn ini memiliki penceritaan terbatas dan condong mengandalkan video-video yang direkam oleh Casey sepanjang ia memasuki World’s Fair, dan rekaman-rekaman tersebut tidak memberikan narasi secara gamblang, membuat kita sedikit dituntut untuk berpikir.

We're All Going to the World's Fair bukanlah film yang akan dicintai oleh orang umum, pertama karena penceritaannya yang berbeda dan unsur horror dalam film ini tidak ditujukkan secara gamblang, namun saat kita sudah berhasil memegang konsep dari bentuk horror yang hendak disampaikan oleh film ini, kita akan langsung memahami “Oh ternyata ini horrornya disini.” bisa dibilang bukanlah film horror yang tradisional juga.We're All Going to the World's Fair tidak akan menyuguhkan beragam jumpscare atau musik keras menegangkan yang mungkin akan membuat kalian menggenggam erat kursi atau bersiap menutup mata.

Sedari awal film ini dimulai, kita diperlihatkan kepada sosok Casey semata, tidak ada orang-orang di sekitarnya. Casey sendirian dan kesepian. Sosok ayah yang diperlihatkan dalam film ini pun terlihat abusif dan Casey bahkan menghindari sang Ayah, sosok sang Ibu pun tidak pernah ditujukkan keberadaannya dan bahkan bisa dibilang tidak ada. Nuansa kesepian dan isolasi yang dialami oleh Casey ini terpampang jelas, bagaimana ia mencoba untuk mencari teman di usianya yang masih muda ini, sekaligus mencari jati dirinya dengan mencoba berbagai hal, termasuk World’s Fair Challenge ini. Tentunya pencarian jati diri lewat online role-playing ini menjadi titik balik kehidupan Casey.

Dengan dirinya yang perlahan sudah tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak, menaruh konsep horror itu sendiri dengan bagaimana anak muda sangat mudah terekspos oleh konten-konten yang tidak pantas untuk usia mereka, dan perlahan mulai lepas kendali atas diri mereka, karena mereka yang masih menelan mentah-mentah apa yang disuguhkan. Hal inilah yang terjadi dari Casey, ia yang awal muncul sebagai sosok gadis polos yang awkward, semakin durasi berlangsung ia mulai kehilangan kendali atas tindakannya dan terlalu masuk ke dalam dunia internet.

Selain hubungan Casey dan Internet, ada pula sosok JLB yang menemani Casey dalam World’s Fair Challenge. Sosok JLB ini pertama kali muncul dengan mencoba menarik perhatian Casey menggunakan sebuah video seram dan mengajak Casey untuk ikut bermain World’s Fair Challenge bersama, menyuruh Casey untuk memvideokan perkembangan dirinya selama berada dalam World’s Fair Challenge. JLB sendiri merupakan sosok misterius yang hadir dengan foto profil ‘ghost’ yang dahulu pernah digunakan untuk meme di 9gag.

Jane Schoenbrun piawai untuk mempermainkan kita lewat JLB. Di awal JLB sendiri nampak seperti sosok baik yang ingin membantu Casey untuk terus bermain di World’s Fair Challenge, namun kemudian di babak kedua kita diperlihatkan kepada sosok JLB sesugguhnya yang cukup mengagetkan dan langsung membuat saya sendiri berpikir negatif terhadapnya. Kemudian Jane Schoenbrun seperti meyakinkan kita bahwa “JLB itu orang baik kok, hehehe.” membuat kita kesulitan untuk mengecap apakah JLB ini sebuah ancaman bagi Casey atau bukan. Namun pada akhirnya sosok JLB ini sendiri ada di dunia nyata dan menjadi salah satu unsur horror yang menakutkan di film ini. Terlebih lagi ending dari film ini cukup mengagetkan bagi hubungan JLB dengan Casey.

World’s Fair yang Lambat

We're All Going to the World's Fair memiliki sinematografi yang bisa dibilang cukup indah, dan bahkan saya sendiri merasa cukup tenang ketika melihat pemandangan-pemandangan yang disuguhkan dalam film ini. Namun, sayang sekali dengan sinematografinya yang cukup menenangkan dan indah, penceritaan dalam film ini terkesan lambat sehingga saya cukup kesulitan untuk tetap duduk diam menonton film ini.

Saya sendiri tidak masalah jika sebuah film memiliki pace atau penceritaan yang lambat, seperti The Wind (2019). Namun, We're All Going to the World's Fair juga tidak memiliki perkebangan alur yang signifikan dengan pace nya yang lambat, sehingga membuat saya sedikit kesulitan untuk benar-benar mengikuti alurnya, terlebih lagi dinarasikan bukan dengan cara tradisional. Apalagi pada scene Casey menari-nari dihadapan kamera yang berlangsung selama beberapa menit dan cukup lama, membuat alur film ini nampak lambat, seperti tidak tau ingin kemana lagi, padahal film ini memiliki durasi 86 menit yang mana bukanlah film yang panjang.

Perkembangan mengenai konsep World’s Fair Challenge pun tidak ada, sehingga kita kurang bisa memahami dengan baik mengenai tantangan apa itu sebenarnya, ada apa di World's Fair dan siapa saja yang ikut atau bagaimana dengan pemain lainnya? Meskipun memang kita diperlihatkan mengenai pemain-pemain lainnya yang mengikuti Challenge ini; ada yang menarik tiket dari dalam tangannya, atau menjadi plastik. Konsep keseluruhan mengenai tantangan ini tidak ada, sehingga role playing game yang harusnya membutuhkan interaksi antar pemain nampak kosong, yang mana akan lebih baik jika Casey bertemu dan berinteraksi dengan sesama pemain.

Anna Cob memerankan perannya dengan sangat baik untuk sebuah film debutnya. Anna mampu memerankan sosok Casey yang polos dan perlahan mulai kehilangan dirinya dalam permainan tersebut. Bahkan bagi Anna Cob ini tugas yang cukup berat, mengingat hampir keseluruhan durasi memunculkan tokoh Casey di depan kamera, yang mana Anna harus menjaga performanya, beruntungnya Anna Cob merupakan pemain utama yang sangat bagus.

Kesimpulan

We're All Going to the World's Fair, merupakan film horror yang kemungkinan besar tak semua orang menyukainya dikarenakan penceritaannya yang disuguhkan secara non-traditional. Namun, konsep yang disuguhkan dan premisnya cukup menarik. Konflik yang ada dalam film ini pun dibangun dengan snagat baik. Namun, lambatnya penceritaan membuat film ini agak sulit untuk diikuti. Namun dengan twist-ending di akhir membuat sebuah gebrakan terakhir yang bagus dan cukup mengejutkan.

Rating


55%

Komentar