Review: Texas Chainsaw Massacre (2022) - Ayunan Gergaji Leatherface yang Gagal Menakuti

 


 

Film Slasher adalah salah satu sub-genre yang banyak dinikmati oleh para penggemar film. Lihat saja, berapa banyak pembunuh-pembunuh fiksi hasil dari franchise sebuah film slasher; Freddy Krueger, Michael Myers, Ghostface, Jason Voorhes dan Leatherface. Tidak dapat dipungkiri, dengan kepopuleran sub-genre ini, banyak filmaker yang mencoba untuk berinovasi melahirkan pembunuh-pembunuh baru yang siap meneror dan bersemayam di otak para penontonnya. Namun tentu saja, yang legendaris dan ikonik masih tidak dapat ditandingi. Melihat munculnya Halloween (2018) yang sukses membangkitkan kembali Michael Myers dalam direct sekuelnya (sehingga mematikan sekuel-sekuel terdahulunya), beberapa film-film Slasher lainnya mencoba peruntungan yang sama, contohnya Scream (2022) yang melahirkan sekuel baru dan kali ini Texas Chainsaw Massacre.

Sinopsis


Film Texas Chainsaw Massacre, yang disutradarai oleh David Blue Garcia dan ditemani oleh Chris Thomas Devlin yang duduk dikursi penulis naskah, kini menceritakan setting waktu 50 tahun setelah kejadian Texas Chainsaw Massacre (1974). Dalam film ini, kita akan mengikuti sekelompok pemuda-pemudi yang datang untuk melakukan sebuah pembangunan pada kota Harlow. Namun, siapa sangka Leatherface masih bersembunyi dalam kegelapan, bersiap untuk membantai pemuda-pemudi tersebut satu persatu.

Kembalinya Leatherface


Texas Chainsaw Massacre kali ini menghadirkan beragam karakter baru, nuansa baru namun dengan kesadisan yang sama. Leatherface sendiri sangat populer dikalangan pecinta film maupun horror, siapa yang tidak ingat dengan gerungan gergaji mesin yang siap mencincang-cincang korbannya? Dalam film garapan David Blue Garcia ini, kita diperkenalkan kepada empat sekawan; Melody (Sarah Yarkin), saudarinya —Lila (Elsie Fisher), Dante (Jacob Latimore), dan kekasihnya —Ruth (Nell Hudson).

Film Texas Chainsaw Massacre ini memiliki premis yang cukup menarik dan relate dengan zaman modern sekarang. Sekelompok pemuda-pemudi sembrono yang dibantai habis-habisan tanpa ampun oleh Leatherface. Premis tersebut cukup menarik, mengingat zaman sekarang cukup banyak anak-anak muda yang lebih sering menghabiskan waktunya untuk menaikkan pamor di sosial medianya, dan rela melakukan apapun demi hal tersebut. Lalu bagaimana jika influencer-influencer tersebut dibantai? Tentu saja film ini akan menyajikan kengeriannya dengan premis yang kekinian.

Gore yang Masih Setia Mengikuti

Film ini sendiri memiliki durasi kurang dari 80 menit (tanpa credit scene), yang mana tentunya akan berjalan dengan alur yang straightforwardDavid Blue Garcia selaku sutradara beruntungnya sudah menata dengan rapih porsi demi porsi cerita yang akan disuguhkan dalam film The Chainsaw Massacre ini. Pengenalan karakter dan latar belakangnya disuguhkan dalam babak awal dengan cukup baik, berhasil menunjukkan betapa menyebalkannya sebagian kaum millenial dan Gen Z tersebut. Kemudian kita akan digiring menuju kota Harlow yang akan menjadi setting utamanya sekaligus tempat Gen Z dan Millenial berkumpul siap untuk dibantai. David Blue Garcia pun memberikan awal mula konflik yang akan menjadi akar pembantaian keji Leatherface dengan cukup singkat, padat dan jelas. Tentunya film Texas Chainsaw Massacre ini akan menjadi sebuah film penuh darah dan menghibur, dengan sebagian besar durasi digunakan oleh Leatherface untuk membantai para korbannya dengan sadis.

Film Texas Chainsaw Massacre garapan David Blue Garcia mungkin akan mendeskripsikan bagaimana menyajikan gore atau kekerasan tanpa berlebihan. Tentunya, kita akan melihat potongan-potongan tubuh yang berserakan, ataupun darah yang mengucur menggenangi lantai, namun seluruh kekerasan tersebut tidak begitu ditampilkan secara berlebihan. Yang menjadikan porsi kekerasan tersebut masih dapat dinikmati meskipun memang sadisnya minta ampun. Killing scene yang dilakukan oleh Leatherface dalam film ini pun cukup kreatif, dengan berbagai ‘gaya’ dan ‘cara’ menghabisi para korbannya, sehingga ada kepuasan tersendiri untuk  tau lebih bagaimana Leatherface akan menghabisi korban berikutnya. Dengan pembunuhan yang kreatif dan porsi kekerasan yang cukup itru, menjadikan seluruh killing scene dalam film ini mudah dinikmati karena kita akan melihat detail-detail bagaimana Leatherface membantai korbannya.

Hilangnya 'Ruh' Texas Chainsaw Massacre

Jika ditanya apakah Texas Chainsaw Massacre ini menyuguhkan suatu cerita yang bagus? Mungkin dengan tegas akan saya jawab tidak. Seperti yang sebelumnya saya sebutkan, Texas Chainsaw Massacre ini memiliki durasi kurang dari 80 menit, yang mana tentunya akan memadatkan alurnya demi menyuguhkan hidangan utamanya, yaitu pembantaian dan aksi dari Leatherface. David Blue Garcia selaku sutradara sangat terlihat ingin menggiring para penonton langsung menuju hidangan utamanya tanpa mempedulikan pengembangan hal-hal lainnya. Di babak awal saja, kita sudah diperlihatkan korban pertama Leatherface, yang mana cukup mengejutkan karena sungguh cepat.

Film Texas Chainsaw Massacre ini sendiri tidak menyuguhkan hal baru dalam penceritaannya, alurnya terlalu generik layaknya film Slasher lainnya, bahkan mungkin versi downgrade nya. Karena segalanya berlangsung dengan amat cepat dan ke klisean dalam film ini sangat sering ditemukan, sehingga saya sendiri bisa menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Sehingga, tensi yang seharusnya dirasakan saat menonton film ini semakin lama semakin menghilang akibat ke klisean yang menumpuk sepanjang durasi. Awalnya saya mencoba untuk berpikir positif, mungkin saja dengan alurnya yang sederhana ini, akan ada sebuah substansi dalam naratifnya. Namun, saya salah.

Entah disengaja atau tidak, film ini lebih hadir sebagai film satire dark comedy ketimbang film horror ataupun slasher secara utuh. Entah mengapa, saya tidak bisa menaggapi dengan serius seluruh karakter dalam film ini, mungkin karna karakternya yang sedari awal memang hadir dengan karakterisasi yang sulit untuk disukai alias menyebalkan. Sebagian besar adegan yang hadir dalam film Texas Chainsaw Massacre terasa comical, dari Leatherface yang tiba-tiba datang layaknya hantu ataupun gelagat-gelagat karakter lainnya yang tak kalah membingungkan. Dialog yang dilontarkan oleh karakternya pun tidak membantu memasukkan substansi dalam penceritaannya, malah menambah kesan comical. Terlebih lagi, saat adegan dimana pemuda-pemudi ini malah merekam Leatherface yang siap membantai mereka, adegan tersebut sangat mengocok perut.

Hadirnya karakter-karakter utama yang tidak mudah disukai ini malah berbanding terbalik dengan pengenalan Leatherface yang di awal mencoba untuk meminta simpati dari para penontonnya. Terlebih lagi, seluruh pembantai yang terjadi dalam film ini disebabkan oleh pemuda-pemudi tersebut, mengakibatkan Leatherface kembali ke sifat alamiahnya dan membantai tanpa ampun. Nampun penggiringan simpati ini tetap saja tidak berhasil, mengingat sepanjang durasi Leatherface hadir nampak seperti the boogeyman dan bukanlah manusia, menyulitkan kita untuk menaruh simpati pada sosok yang berkelakuan tak seperti manusia. Terlebih lagi, pada film-film pendahulunya, sosok Leatherface ini digambarkan sebagai manusia biasa yang masih memiliki emosi, bahkan dlaam setiap aksinya pun ia sesekali menunjukkan emosinya, menunggu afirmasi dari para keluarganya, bahkan ia pun bersikap layaknya manusia meskipun tidak normal. Bahkan pada film Texas Chainsaw Massacre 3D yang sangat mengecewakan, Leatherface hadir sebagai sosok manusia yang memang tidak normal, dan ia bukanlah Michael Myers ataupun Jason Voorhes. Dalam film ini Leatherface yang digambarkan hampir menyerupai Michael Myers,dengan dirinya yang kerap teleport atau susah dibunuh, membuat esensi dari sosok Leatherface menghilang lenyap.


Dengan alurnya yang nampak kurang substansi, kita dihadirkan pada kembalinya Sally(Olwen Fouéré) —yang merupakan satu-satunya survivor dari film pertama. Sally disini pun tidak lain memiliki ambisi untuk membalaskan dendam 50 tahunnya yang sudah ia pendam. Tentunya hal tersebut tidak masalah, karena melihat bagaimana Sydney ingin menghabisi Ghostface atau Laurie ingin menghabisi Michael Myers, ambisi Sally untuk menghabisi Leatherface pun bukanlah hal yang aneh. Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengeksekusian ambisi dari Sally itu sendiri.

Sally di sini tentunya hadir sebagai sosok penuh dendam yang sangat ingin menghabisi Leatherface, atas teman-temannya yang tewas di tangannya ataupun trauma yang ia pikul. Namun Sally di sini hadir layaknya karakter biasa saja, tidak memiliki peran penting dalam alurnya, ia hadir tanpa memiliki peran signifikan dalam perkembangan alurnya. Leatherface pun sama sekali tidak mendapatkan pengaruh atas kehadiran Sally, lantas untuk apa Sally disitu? Tentu saja untuk menghadirkan nostalgia bagi para penggemar,namun nostalgia yang terbuang sia-sia saja. Bahkan menurut saya sendiri, Ritcher (Moe Dunford) lebih memiliki karakterisasi dan peran yang signifikan terhadap alurnya ketimbang Sally.

Kesimpulan

Pada akhirnya Texas Chainsaw Massacre tidak menghadirkan hal baru kecuali nostalgia semata. Nostalgia yang disuguhkan pun nampak hambar dan tidak matang layaknya film Halloween (2018). Banyak sekali esensi Texas Chainsaw Massacre yang nampak hilang, sehingga semakin menanggalkan ‘ruh’ dari film orisinalnya, membuat sesuatu yang baru namun tidak mampu melampaui atau sepadan dengan orisinalnya. Hadir dengan penuh kebingungan, entah dari karakterisasinya atau alurnya. Texas Chainsaw Massacre dipenuh ke klisean umum film slasher dan kehilangan unsur horrornya, digantikan dengan dark comedy maupun satir. Tapi gorenya masih menendang kok.

Rating


20%

 


Komentar