Review: Mumun (2022) - Nostalgia yang Nampak Terburu-buru

Nostalgia, mungkin adalah sesuatu yang mengikat banyak orang terhadap sesuatu—film, makanan, tempat dan lain-lain. Tentunya ada suatu memori yang membuat mereka bernostalgia terhadap sesuatu, inilah yang menjadi salah satu faktor terbesar mengapa saya sangat antusias menonton mumun—meskipun saya sendiri tidak begitu mengingat secara jelas memori perihal sinetron lawas tersebut.

Sinopsis

Film Mumun (2022), menceritakan tentang Mumun (Acha Septriasa) yang merupakan wanita yang diincar banyak pria karna kecantikan dan sifatnya. Tak segan orang-orang mendekati Mumun sampai melamarnya, namun hal tersebut tentunya sia-sia karna Mumun hanya cinta pada Juned (Dimas Aditya) seorang. Jefri (Volland Volt) yang merupakan seorang preman kampung sekaligus debt collector ini tak luput jatuh cinta pada Mumun. Melakukan segala cara, sampai meminta jimat abal-abal pada Husein (Mandra) demi mendapatkan sang pujaan hati. Namun Jepri yang terobsesi dengan Mumun mengakibatkan Mumun tertabrak mobil truk dan tewas, dan pada akhirnya membuat Mumun bergentayangan meneror warga kampung.


Nostalgia yang Amat Kental

Rasa nostalgia sangatlah kental pada film Mumun ini, bahkan para penonton pun didominasi dengan rasa penasarannya akan Nostalgia yang didapat dari menonton film Mumun yang disutradarai oleh Rizal Mantovani. Saya pun termasuk penonton yang memilih film menonton Mumun demi mendapatkan kepuasan nostalgia, sekaligus ingin melihat bagaimana Rizal Mantovani menyajikan Mumun dalam setting sekarang.


Tentunya rasa nostalgia ini menjadi senjata utama daeri film Mumun ini. Berbagai lawakan-lawakan yang hadir dalam film Mumun ini adalah bukti bagaimana film Mumun menggunakan nostalgia tersebut sebagai senjata yang ampuh. Momen-momen lucu yang komedik ini disajika penuh nostalgia, tentunya salut dengan bagaimana menyajikan komedi tersebut dengan tidak garing. Saya sendiri cukup terkejut mendapati unsur komedi yang sangat mengocok perut itu, meskipun beberapa nampak kurang menendang dan terasa garing, namun unsur komedi dalam film ini sendiri menjadi senjata ampuh.


Tentunya bukan hanya unsur komedi yang membawakan rasa nostalgia terhadap film Mumun ini, unsur horror dari film Mumun ini tak kalah memberikan nostalgia bagi para penikmat sinetronnya dulu. Cahaya-cahaya hijau yang menandakan sosok Mumun yang siap menakut-nakuti seluruh karakternya, memberikan flashback pada sinetron dahulunya.


Pocong Mumun yang Masih Saja Menyeramkan

Hal yang paling berkesan dari film Mumun ini adalah akting dari Acha Septriasa yang memukau. Acha mampu memerankan dua tokoh sekaligus, dengan sifat yang bertolak belakang. Bahkan saat Acha berubah menjadi pocong mumun pun ia mampu membawakan performanya yang menyeramkan sebagai sosok pocong mumun. Di antara para pemain yang lain, meskipun mereka memiliki akting yang tak kalah bagus, Acha Septriasa sangat bersinar di sini. Saat menyaksikan bagaimana Acha memerankan Pocong Mumun dengan balutan make up menyeramkan, ia sama sekali tidak tampil ‘cantik’. Ia berubah menjadi sosok hantu yang diharapkan, pocong Mumun yang ingin membalaskan dendamnya.


Kehadiran pocong Mumun dalam film ini pun bisa dikatakan masih terbilang mengerikan, apalagi saat tengah memanggil-manggil sembari meminta tolong membukakan tali pocongnya. Memang unsur jumpscare dalam film ini terbilang cukup banyak dan lumayan repetitif. Namun adegan dimana pocong Mumun pertama kali menakuti Mandra adalah salah satu scene horror pertama dan pembuka yang cukup menakutkan.


Penceritaan yang Nampak Terburu-buru

Film Mumun sendiri memiliki efek visual yang cukup bagus dan horror yang cukup seram. Namun hal yang kurang dari film ini adalh plot atau penceritaannya. Penceritaan dalam film Mumun terbilang terburu-buru, kemungkinan besar karna merangkum segala yang terjadi di sinetron jadulnya dan berusaha memasukkan semuanya ke dalam filmnya, sehingga film nya sendiri nampak kewalahan menampung seluruh ide dan plot nya. Alhasil, yang terjadi adalah penceritaannya yang tertata kurang rapih dan terburu-buru.


Pocong Mumun sendiri sudah hadir dengan menyeramkan, Acha Septriasa dibalut dengan make-up menyeramkan dan siap menakut-nakuti warga kampung. Namun, teror pocong Mumun yang melanda warga kampun sendiri tampak kurang tergali. Alhasil, Pocong Mumun yang ‘katanya’ meneror warga kampung tersebut kurang terasa, toh kita hanya lebih sering diperlihatkan Pocong Mumun meneror Mimin, Husein dan Jefri saja.


Perpindahan setting waktu film ini pun dirasa sangat membingungkan. Beberapa menit pagi kemudian siang kemudian malam, atau dari pagi tiba-tiba menjadi malam. Sehingga saya sendiri sangat kesulitan untuk mengikuti settingnya yang berpindah cukup cepat. Tak hanya settingnya yang berpindah cukup cepat, konfliknya pun ikut berpindah cukup cepat.


Karakter Husein yang diperankan oleh Mandra memang salah satu karakter ikonik dalam film ini dan tentunya memegang sebuah peran penting. Mandra sendiri di awal sudah menyadari bahwa ia lupa melepas tali pocong Mumun, mengakibatkan Mumun meneror Husein dan meminta untuk dilepaskan tali pocongnya. Namun, apakah Husein melepas tali pocongnya? Tentu tidak, Husein nampak lupa dengan maslaah yang ia hadapi ini. Pada hari berikutnya Husein kembali menipu Jefri dan kawan-kawannya lagi.

Husein yang sudah memegang inti permasalahan film ini dan menyadari apa yang membuat Pocong Mumun bergentayangan ini bagiku nampak cukup terlalu dini diuangkap, mengingat film ini memperlakukan informasi tersebut seakan-akan terlupakan. Jika memang ingin mengulur alurnya, bisa saja permasalahan tali pocong ini terungkap pada klimaksnya, bukan pada awal dimana tone film sudah berubah menjadi horror. Kemudian, roman antar Juned dan Mimin pun nampak terlalu cepat, apa mungkin dikarenakan settingnya yang berpindah dengan cepat sehingga roman antara Juned dan Mimin tidak terlalu terasa? Entahlah, dari segi Drama film ini memiliki potensi yang besar, mengingat film Pocong Mumun ini memiliki lapisan drama dan konflik yang cukup banyak, entah itu dari segi keluarga Mumun ataupun Jefri. Namun hal tersebut sayangnya kurang digali dengan dalam, membiarkan potensi tersebut tetap terkubur.


Kemudian, colour grading dalam film ini pun sedikit membuat mata saya risih, terkadang normal dan terkadang terlalu kuning, sehingga membuat make-up Acha nampak sangat menor dan terlalu pink, padahal dalam scene berikutnya make-up Acha nampak normal dan natural.


Membahas mengenai make-up Acha Septriasa, saat menjadi Mumun pun sudah sangat bagus. Namun, sosok Pocong Mumun yang mengerikan tersebut sayangnya tidak diperlihatkan atau digunakan dengan maksimal. Mengingat kebanyakan adegan horror nya bergantung pada Jumpscare dan visual effect semata. Bahkan saya sendiri sangat menyayangkan penggunaan Pocong Mumun yang kurang maksimal, bahkan Jumpscarenya terkadang cukup cepat sehingga tidak bisa menikmati kehorror-an Pocong Mumun itu. Kemudian unsur gore yang tiba-tiab muncul pun membuat warna film ini semakin membingungkan. Jika saja kesadisan itu sudah muncul sejak awal, mungkin tidak akan seberantakan itu warna filmnya.


Kesimpulan

Overall Mumun bukanlah film yang bagus namun bukanlah yang terburuk juga. Film Mumun masih dapat dinikmati unsur komedi dan horrornya. Lawakan-lawakannya masih dapat mengocok perut dan unsur nostalgia yang kental membuat para penonton setia sinetron Mumun dahulu akan betah duduk di kursi bioskop. Tapi, sayangnya dari segi penceritaan Mumun cukup elmah, banyak hal yang nampak sangat amat dirangkum dan dipercepat, membuat terlihat terburu-buru dan kurang tertata rapih.

 

Rating


40%

Komentar