Review: Don't Breathe 2 (2021) - Sekuel Mediocore yang Tidak Begitu Dibutuhkan

 


Sinopsis dari Don’t Breathe 2 ini masih mengikuti The Blind man (Stephen Lang) yang badass. Kali ini dia tidak berhadapan dengan sekelompok pemuda pencuri yang hendak mengusik kediamannya, dalam film sekuelnya ini Sang pria tua tersebut menghadapi para penculik yang hendak menculik putrinya, Phoenix (Madelyn Grace). Tentunya dengan jumlah ancaman yang lebih banyak ketimbang film sebelumnya, Sang pria tua harus mencurahkan seluruh tenaganya demi melindungi sang putrinya, mampukah ia menyelamatkan sang putri tersayangnya?

Saat mendapati berita bahwa akan ada sekuel dari film Don’t Breathe, saya merasa senang dan sedikit ragu. Karena bagi saya sendiri film Don’t Breathe yang cukup menegangkan dan cukup ikonik pada tahun itu, tidak membutuhkan sekuel. Meskipun karakter sang pria tua tersebut memanglah terlihat berbeda dari karakter-karakter biasanya, dengan keahliannya dalam melindungi dirinya meski tanpa bisa melihat apapun, bahkan para penonton dari film pertamanya lebih tertarik pada tokoh sang pria tua tersebut. Tentunya kepopuleran ini berujung pada munculnya sekuel yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.

Rodo Sayagues, yang sebelumnya dalam Film Don’t Breathe duduk di kursi penulis ditemani Fede Alvarez sebagai sutradara, kini dalam sekuelnya duduk di kursi sutradara sekaligus penulis. Alur Don’t Breathe 2 ini sendiri lebih berfokus pada The Blind Man dan anaknya, kita akan melihat keseharian mereka dan bagaimana The Blind Man tersebut merawat puterinya tersebut. Tidak lupa di awal film pun kita disuguhi dengan sebuah pembuka yang menjadi sebuah misteri besar sampai akhir film dan bisa dibilang mejadi sebuah inti dari film ini sendiri. Rodo Sayagues sendiri nampak ingin menjadikan film ini seperti sekuel-sekuel mainstream yang sama-sama memfokuskan villain dari film sebelumnya. Saya sendiri cukup kecewa dengan hal ini, karena saya tidak terlalu suka dengan sosok The Blind Man yang digambarkan sebagai sosok yang sudah ‘insyaf’. Karena dalam film sebelumnya, sosok yang brutal dan sudah melakukan hal-hal keji lainnya sudah melekat dalam penggambaran karakternya tersebut, lalu saat unsur tersebut hilang kebrutalan yang dinantikan pun hilang, bisa dibilang The Blind man di-nerf pada film ini. Padahal saya sendiri lebih berharap bahwa The Blind man akan menjadi sosok anti-hero ketimbang sosok yang ‘insyaf’.



Dengan sosok The Blind Man yang sudah insyaf inilah, kita akan dihadapkan pada para antagonis-antagonis yang cukup sadis dan brutal juga. Bahkan jumlahnya tidak satu, dua atau tiga orang, melainkan seperti sebuah geng atau organisasi. Tentunya The Blind Man yang sudah insyaf tersebut berusaha mato-matian untuk mempertahankan dirinya dan puterinya. Bagi kalian yang berharap bahwa atmosfer film ini akan sama tegangnya dengan film pertamanya, saya rasa harapan kalian akan pupus. Film ini tidak lagi bermain-main dalam diam dan berpegang hanya dengan suara. Mungkin karena Antagonisnya pun berjulah cukup banyak dan The Blind Man kini bukan lagi sosok antagonis utamanya, maka unsur-unsur yang menjadi sebuah senjata utama pada film sebelumnya itu dihilangkan sedikit porsinya. Kalian akan lebih sering melihat adegan-adegan berkelahi ketimbang kucing-kucingan.

Adegan-adegan berkelahi yang bisa dibilang cukup mendominasi dan dengan setting yang lebih luas ketimbang sebelumnya, menjadikan film ini tidak semenegangkan pendahulunya. Jika film pendahulunya menjadi ikonik karena settingnya yang terbatas dan ketegangan yang benar-benar cukup tinggi karena para protagonisnya dipaksa mengeluarkan suara seminim mungkin, dalam sekuelnya ini lebih terasa seperti film Thriller biasa atau mainstream. Meski saya sendiri masih bisa menikmati beragam adegan-adegan sadis yang ditampilkan dalam film ini, dan melihat aksi The Blind Man yang menggunakan kelebihannya dalam melawan para penculik tersebut, meskipun porsinya menjadi lebih sedikit.

Alur film ini pun bisa dibilang non-stop action, karena kita terus menerus melihat pergulatan The Blind man dengan para penculik yang mengusik hidupnya dan putrinya. Dengan banyaknya adegan perkelahian yang muncul, kita tidak diberi wkatu menarik nafas yang cukup banyak. Di sela-sela pergulatan tersebut, perlahan-lahan kita akan menguak misteri mengenai asal usul Phoenix (Madelyn Grace), dari mana dia berasal dan mengapa para penculik itu sangat-sangat menginginkan Phoenix.

Karakter yang diperankan oleh Stephen Lang, The Blind Man, menjadi sosok ikonik yang hadir kembali dan kini dengan sisi berbeda. Tentunya Stephen Lang masih berhasil memerankan sosok The Blind man yang brutal namun kini dengan berusaha menjadi sosok yang baik dan menebus kesalahan-kesalahan yang dahulu ia lakukan. The Blind Man yang nampaknya mencoba insyaf pun tentunya bertujuan untuk menarik simpati kepada kita para penonton, namun saya sendiri sebagai penonton masih kruang bisa menaruh The Blind Man sebagai sosok baik. Sosok The Blind Man sebagai figur ayah pun kurang terasa lewat karakter Phoenix, entah mengapa porsi Phoenix sendiri yang nampaknya dalam film ini menjadi sebuah inti dari permasalahahan, malah kurang tergali. Saya sendiri awalnya mengira bahwa film ini akan menjadi kejar-kejara Phoenix dengan para penculiknya dan tentunya dibantu oleh The Blind Man yang akan mengeksekusi mereka ala-ala ninja dalam kegelapan. Namun nampaknya Don’t Breath 2 ini lebih mencoba untuk memfokuskan The Blind Man sebagai sosok yang mencoba insyaf.

Pemfokusan tersebutt menjadikan potensi yang dipegang oleh Don’t Breath 2 terasa terbuang. Sosok Phoenix yang menjadi sasarn utama malah tidak begitu terasa, kita tidak merasa betapa terancamnya sosok Phoenix ini. Di babak awal kita diperlihatkan kucing-kucingan antara Phoenix dengan para penculiknya, kita melihat bagaimana Phoenix dengan lihai mengelabui para penculik dan kabur, sayangnya hal tersebut tidak dikembangkan dalam Don’t Breathe 2 ini. Bahkan scene tersebut bagi saya cukup menegangkan dan bahkan jika berfokus pada hal tersebut akan membuat Don’t Breath 2 ini semenegangkan film pertamanya.

Dengan kurangnya penggalian karakter, maupun pada Phoenix atau para antagonisnya, menjadikan film ini terasa berjalan begitu saja. Bahkan antagonis yang hadir sebenarnya memiliki potensi yang cukup bagus. Melihat latar belakang alasan mereka menginginkan Phoenix, bahkan ada salah satu yang membelot dan membantu The Blind Man, namun nampaknya hal tersebut seperti lewat begitu saja. Pada akhirnya sosok-sosok antagonisnya terasa kosong, dan kita tidak merasa ancaman sehebat bagaimana The Blind Man menjadi sosok Antagonis dalam pendahulunya.

Pada akhirnya, Don’t Breathe 2 ini hadir sebagai sekuel yang biasa-biasa saja, tidak begitu diperlukan. Bahkan film ini bisa ditonton tanpa kita mengetahui film pertamanya. Alurnya berjalan dengan cukup cepat dan tidak lagi berfokus pada ketegangannya. Namun, film ini masih bisa dinikmati karena adegan-adegan perkelahian yang cukup sadis dan asik.

Rating


55%

Komentar