Review: Fear Street Part One: 1994 (2021)

 


Menceritakan mengenai suatu insiden pembunuhan sadis yang kembali menghantui Shadyside sampai-sampai disebut sebagai kota yang paling berbahaya di USA. Kepolisian Shadyside pun mencoba untuk menginvestigasi pembunuhan tersebut. Di samping tegangnya situasi Shadyside, remaja-remaja Shadyside pun tak kalah sibuk dengan rivalitas dengan kota tetangganya, Sunnyvale, yang disebut sebagai kota teraman di USA. Perseteruan antar remaja ini mengakibatkan hubungan mereka jauh dari kata akur. Namun bagaimana jika salah satu remaja asal Sunnyvale dan empat remaja asal Shadyside menjadi incaran para psikopat sadis? Apakah mereka akan membantu satu sama lain?

Saya sendiri sebenarnya sudah mengetahui berita mengenai trilogi Fear Street yang akan tayang di Netflix, dan saya sendiri tidak menyangkal bahwa akan sangat menantikan kemunculan Fear Street ini dan berniat pula untuk langsung menontonnya setelah keluar di Netfilx. Namun, menyedihkannya saya baru memiliki niat untuk benar-benar menonton Fear Street Part One: 1994 ini sekarang, dimana mungkin hype dari para penonton sudah mulai pudar. Akhirnya, dengan sangat antusiasnya saya menonton film ini dan berniat menyelesaikan triloginya sesegera mungkin.

Fear Street: Part One - 1994 ini sendiri dibuka dengan homage kepada film Scream (1996), bahkan mungkin bagi yang sangat menyukai film slasher tentunya akan menyadari homage yang membuat para fansnya sedikit bernostalgia ini. Kita akan dihadapkan pada Heather (Maya Hawke) yang menjadi korban pertama dalam film ini, layaknya Drew Barrymore pada Scream (1996). Pada opening tersebut, kita sudah ditujukkan betapa berbahayanya kota Shadyside ini, dengan berbagai pembunuhan yang cukup sering terjadi di kota tersebut sampai-sampai disebut sebagai kota paling berbahaya di USA! Kemudian kita akan mengikuti Deena (Kiana Madeira) dan kedua kawannya, Kate (Julia Rehwald) dan Simon (Fred Hechinger) yang hendak menghadiri acara untuk mengenang kematian tragis Heather. Tentunya Sunnyvale ikut dalam acara tersebut, membuat Deena kembali lagi reuni dengan sang mantan kekasih, Samantha (Olivia Scott Welch). Namun, remaja dari kedua kota tersebut terlibat dalam perkelahian yang mengakibatkan situasi antara mereka semakin tegang, begitu pula situasi Samantha dan Deena. Kemudian kita akan digiring melihat bagaimana gigihnya remaja Sunnyvale untuk mengerjai remaja Shadyside dan tentunya berujung pada kecelakaan mobil yang mengakibatkan Samantha secara misterius menjadi sasaran para psikopat sadis. Deena dan kawan-kawannya pun terpaksa untuk menyelamatkan Samantha dari sasaran para psikopat tersebut.


Dengan dibuka menggunakan homage film Scream (1996), bagi saya sendiri opening yang disuguhkan oleh film garapan Leigh Janiak ini sangatlah tepat dan cukup menarik perhatian saya sebagai penonton, Fear Street: Part One - 1994 seperti menegaskan bahwa film ini akan tidak kalah sadis dan mengerikannya dengan film Scream (1996). Dengan opening tersebut sendiri kita sudah bisa melihat sekelibat bagaimana situasi Shadyside yang tidak henti-hentinya lepas dari kata ‘mencekam’ dengan berbagai pembunuhan yang mungkin bisa dikatakan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka, dan kini ditujukkan dengan pembunuhan sadis. Leigh Janiak sendiri nampaknya ingin menggunakan pace yang cukup cepat dalam penceritaannya. Terbukti dengan babak awal yang dengan cepatnya mendorong kita kembali pada konflik yang menjadi poros dari alur film ini. Dengan pace yang cukup cepat ini, Leigh Janiak sendiri nampak seperti tidak ingin basa-basi dan memberikan waktu bagi para penontonnya untuk menarik nafas. Tidak butuh waktu lama untuk melihat banyak darah yang akan memenuhi layar.

Cukup banyak film slasher yang mengutamakan kesadisan sang pembunuhnya dan melupakan pendalaman karakter, membuat beberapa film terkesan menjadikan karakternya sebagai body count semata. Namun, hal tersebut tidak akan kalian temukan dalam film garapan Leigh Janiak. Meskipun film ini memiliki pace yang cepat, sampai-sampai mungkin kita bisa melihat betapa semangatnya Leigh Janiak saat menggarap film ini, film ini tidak melupakan tokoh-tokoh yang hadir mengisi alurnya. Kita akan disuguhkan lima karakter utama yang sama sekali bukanlah sosok bodoh dan hadir hanya untuk pasrah dibunuh oleh sang pembunuhnya. Kelima karakter ini memiliki karakterisasi masing-masing dan punya cara mereka tersendiri untuk selamat dari maut. Bahkan, mereka sendiri tidak segan untuk melawan pembunuhnya jika memang harus. Hal inilah yang menjadi sebuah keunggulan dalm film ini. Awalnya saya sendiri cukup pesimis dalam penokohan, karena pace film ini bisa dibilang sangat cepat sehingga kita akan disuguhkan dari adegan satu ke adegan yang lainnya dengan cepat, tidak butuh waktu lama juga untuk melihat korban-korban mulai berjatuhan. Namun melihat bagaimana kelima karkter utama dalam film ini bereaksi dalam situasi yang dihadapkan pada mereka, saya cukup puas dengan eksekusinya. Sehingga, saat karakter tersebut dalam situasi yang menyudutkan mereka, kita akan selalu berharap mereka tidak akan terbunuh.

Sosok pembunuh ‘immortal’  atau ‘pantang mati’ yang biasa hadir dalam film-film slasher umumnya pun akan hadir dalam film ini. Biasanya kita tidak akan paham bagaimana bisa pembunuhnya tidak tewas setelah menerima banyak sekali serangan, ambil contoh Micheal Myers yang sampai sekarang saya masih kagum dengan ‘keabadian’ dia, dan bagaimana ia selalu muncul dan terus muncul meski sudah dipukul dan ditusuk beberapa kali. Sosok pembunuh seperti itu pun tentu muncul dalam film Fear Street: Part One - 1994 ini, namun berbahagialah para penonton karena kita mendapatkan penjelasan mengapa pembunuh dalam film ini tidak mau mati dan tidak lelah mengejar Samantha. Suatu kepuasan bagi saya sendiri untuk memahami mengapa para psikopat dalam film ini sangat sulit mati, biasanya dalam film slasher kita cukup jarang menemukan ikatan supranatural dalam alurnya. Fear Street: Part One - 1994 memberikan sebuah ide segar dengan menambahkan bumbu supranatrual dalam alurnya. Jika kalian pembaca setia R.L. Stine tentunya tidak begitu asing dengan campuran slasher  dengan supranatural, karena film ini sendiri merupakan adaptasi dari cerita milik beliau.

Nuansa film slaher tahun 90-an pun sangatlah kental dalam film ini, scoring yang hadir pun semakin mendukung nuansa tersebut. Bagi saya film ini sendiri seperti nostalgia saya pada film-film Slasher tahun 90-an, terutama Scream. Atmosfer mencekam pun sukses dibangun dalam film ini, setting malam yang sangat dominan membuat kita merasakan bahwa kelima karakter utama ini tidak bisa lepas dari ancaman-ancaman yang bisa saja muncul tiba-tiba merenggut nyawa mereka. Bahkan bisa dibilang hampir seluruh setting dalam film ini mengambil waktu malam, menandakan bahwa mereka sendiri kesulitan untuk mengakhiri hari dan benar-benar lepas dari para pembunuh berantai tersebut dan mencari tau mengapa bisa-bisanya Samantha diincar. Atmosfer dalam film ini pun tidak selamanya menegangkan, kita akan melihta beberapa selipan-selipan candaan atau dark jokes yang dilontarkan oleh beberapa karakternya. Karakter Simon dan Kate sendiri hadir sebagai ‘matahari’ dalam film ini, melihat merekalah terkadang yang membuat film ini ‘lucu’ dengan tingkah mereka, terlebih lagi Simon. Untungnya jokes yang hadir ini seimbang dengan ketegangan yang hadir dan tidak salah tempat, sehingga lontaran-lontaran atau situasi ‘lucu’ cukup berhasil membuat tersenyum ataupun tertawa kecil.

Namun, dibalik keunggulan film tersebut, kurangnya kreatifitas dalam bunuh membunuh menjadi suatu kelemahan dalam film ini. Umumnya, film slasher akan sangat dinantikan adegan bunuh membunuhnya, dan yang paling penting adalah bagaimana sang pembunuh mengeksekusi korbannya. Kreatifitas ini sendiri cukup lemah dalam Fear Street: Part One - 1994, bisa dibilang sangat dominan diisi oleh adegan tusuk-menusuk seperti pembunuh pada umumnya dan cukup repetitif. Butuh waktu lama sekali untuk mendapatkan adegan pembunuhan yang cukup kreatif, pada klimaks saya sendiri menemukan satu adegan yang cukup kreatif namun hanya satu saja, sisanya? Adegan bunuh-bunuhan generik dan membosankan. Meskipun darah bersimbah cukup banyak, namun dengan minimnya kreatifitas dalam adegan membunuh menjadikan unsur tersebut kurang menendang dan maksimal.

Seluruh aktor dan aktris dalam film ini nampak sudah memberikan performa terbaiknya, chemistry antar para pemainnya pun terlihat sangat kuat dan meyakinkan, kita bisa tau bagaimana hubungan love and hate antar Deena dan Samantha, tentunya juga dengan yang lainnya pula. Kate dan Simon hadir sebagai pasangan yang cukup kocak dan kehadiran mereka dengan chemistry yang pas ‘mempercerah’ suasana dalam film ini. Namun hal yang cukup mengganjal bagi saya sendiri adalah, investigasi yang kurang maksimal. Dengan pace cepat dan misteri disekelilingnya, investigasi yang dilakukan karakter-karakter dalam film ini nampak terlalu cepat dan dangkal. Memang secara gamblang semua karakternya sudah bisa menyimpulkan akar permasalahan yang ternyata berkaitan dengan urban legend di Shadyside, namun mungkin jika saja kita diberikan waktu yang matang untuk melihat bagaimana Deena dan gengnya menginvestigasi atas seluruh situasi berbahaya yang mereka masuki, dan memberikan penonton waktu lebih untuk memproses segala informasi yang ada, akan menjadi lebih baik. Karena dengan segalanya yang terkesan sangat cepat, pace cepat yang dibawakan malah terasa seperti terburu-buru dan secepat mungkin ingin membawa penonton kedalam konflik berikutnya dan berikutnya lagi.

Secara keseluruhan Fear Street: Part One - 1994, hadir sebagai film slasher yang cukup fresh, memberikan penggembar film slasher sebuah nostalgia ke film slasher tahun 90-an. Seluruh karakter dalam film ini pun tidak hadir menjadi body count semata, mereka adalah karakter tiga dimensi dengan sifat yang beragam, begitu pula sosok pembunuh berantainya yang hadir dengan penjelasan gamblang mengapa mereka tidak mati-mati. Nampaknya Fear Street: Part One - 1994 ini pun sengaja meninggalkan banyak sekali misteri yang perlahan akan dikuak dalam film selanjutnya, tentunya segala plot hole dalam film ini mungkin akan dijelaskan pada film keduanya.

Rating


60%

 

 

Komentar