Review: Book of Blood (2020)

 

Sebuah film antologi yang menceritakan tentang sekumpulan cerita dari orang-orang yang terjebak dalam kengerian yang mengancam nyawa mereka. Dengan tiga kisah yang akan disajikan, kita akan mengikuti dua komplotan kriminal yang tengah mencari Book of Blood, seorang gadis dengan masalah mental yang tengah lari dari masalahnya, dan seorang peneliti yang tengah melakukan eksperimen dengan hal supranatural. Ketiga cerita tersebut pun saling berkaitan satu sama lain, namun apa yang sebenarnya menimpa ketiga karakter utama kita?

Apa yang membuat saya sangat tertarik untuk menonton film Book of Blood adalah film ini merupakan adaptasi dari buku milik Clive Barker. Jika kalian asing dengan Clive Barker, dialah yang menyutradarai Hellraiser yang sangat terkenal dengan kesadisannya dan body horror nya. Saya sendiri tidak asing dengan karya Clive Barker, meskipun saya belum menonton Hellraiser karna memang belum sempat dan selalu lupa. Namun karna sudah sangat lama saya tidak menonton film horror antologi dan nama Clive Barker terpampang di posternya. Tanpa basa-basi saya langsung menonton film ini.

Book of Blood sendiri dibuka dengan karakter Bennet (Yul Vazquez) dan kawannya yang tengah mencari kitab berdarah atau kita bisa sebut sebagai Book of Blood. Karakter Bennet ini sendiri akan membukakan pintu kita kepada dua cerita antologi selanjutnya, dimana kita akan mengikuti Jenna (Britt Robertson) dalam perjalanannya untuk lepas dari trauma yang membuat keadaan mentalnya semakin buruk. Kemudian kita akan disuguhkan kembali ke cerita milik Mary (Anna Friel) yang merupakan seorang ilmuwan dirundung rasa duka atas kepergian sang anak tercinta, rasa duka tersebut yang akan menuntunnya dalam hal-hal berbau supranatural saat ia bertemu dengan Simon (Rafi Gavron).

Film antologi adalah salah satu film yang bisa dibilang cukup sulit dibuat, karena kita harus menyatukan keseluruhan cerita menjadi kesatuan yang seimbang, tentunya akan ada segmen yang paling kuat dan yang paling lemah, namun kedua hal tersebut jangan sampai menjadikan film ini satu kesatuan yang gagal dalam mencurahkan isi ceritanya. Brannon Braga selaku sutradara dan juga penulis naskah --ditemani oleh Adam Simon, mencoba untuk menyatukan tiga buah cerita adaptasi dari buku karangan Clive Barker menjadi satu kesatuan yang utuh. Segmen yang hadir dalam Book of Blood ini diberi judul; Jenna, Miles dan Bennet. Ketiganya sendiri memiliki satu kesamaan dalam segmennya masing-masing, yaitu menjadi poros dari terror atau kengerian yang hadir. Tema yang hadir dalam ketiga segmen tersebut pun sama, mengusung bagaimana seseorang terjebak dalam suatu kejahatan atau kengerian yang mereka sendiri tidak bisa lepaskan, dimana ketiga segmen ini memiliki karakter utama yang sama-sama membuat dirinya terjebak dalam horror tersebut, dan tentunya mereka tidak bisa lari dari hal tersebut. Dengan tema yang sama ini, kita sebagai penonton tentunya dengan mudah menemukan letak kesinambungan antar segmen tersebut. Namun apakah semuanya berjalan dengan lancar setiap segmennya?


Hal yang sangat saya sadari yang membuat suatu ketimpangan yang besar dalam Book of  Blood ini adalah bagaimana setiap segmennya disajikan. Dari ketiga segmen yang hadir ini, saya melihat suatu perbedaan besar dalam durasinya. Segmen Jenna merupakan segmen terpanjang dan yang paling matang ketimbang dua lainnya. Kita akan melihat bagaimana Jenna dengan kondisi misophonia yang dimilikinya, berjuang mati-matian untuk kabur dan mencoba lari dari masalahnya. Kita sendiri dihadirkan pada sosok Jenna yang mungkin bisa saja pernah kita temui sekali dalam kehidupan kita. Dengan penyakit mental yang sangat menganggu dirinya, alih-alih terselamatkan ia malah terjebak dalam sebuah penginapan tua yang penuh dengan rahasia. Film horror yang bertemakan rumah berhantu ataupun bertempat di sebuah rumah merupakan hal yang cukup umum, sehingga membuat kita lebih cepat untuk menerima cerita milik Jenna ini. Terlebih lagi dengan sosok sepasang suami-istri yang juga tak kalah mencurigakannya dari rumah penginapan milik mereka. Dengan durasi paling panjang dan cerita paling matang, saya akui segmen ‘Jenna’ inilah yang paling kuat dan yang paling ‘niat’ digarap oleh Brannon Braga. Bahkan, saya sendiri lupa bahwa film ini merupakan film antologi, baru tersadarkan setelah segmen ‘Jenna’ ini selesai, menandakan betapa panjangnya segmen ini. Saat saya disuguhkan dengan segmen ‘Miles’ yang merupakan segmen kedua, entah mengapa saya langsung dibuat kecewa olehnya.

Segmen ‘Miles’ ini tidak sepanjang segmen ‘Jenna’ yang mana merupakan sebuah tanda tanya bagi saya, mengapa Brannon Braga membuat segmen dengan durasi yang cukup timpang? Membuat satu segmen sangat lebih kuat ketimbang yang lainnya. Segmen kedua ini bisa dibilang memiliki cerita yang sangat menarik, bagaimana seorang ilmuwan yang mana seharusnya tidak boleh mengkaitkan hal-hal supranatural dalam penelitiannya malah melakukan sebaliknya saat ia bertemu dengan seorang pria tampan nan seksi yang mengaku sebagai ahli dalam bidang supranatural dan rela menjadi sebuah medium bagi sang anak untuk berkomunikasi dengan sang ilmuwan. Cerita yang diusung tak kalah menarik dengan Segmen sebelumnya, namun yang membuat segmen ini cukup lemah dan tidak sebaik segmen sebelumnya adalah durasi yang tidak cukup. Alur yang diusungkan oleh Segmen ‘Miles’ ini bisa dibilang serumit bagaimana Segmen ‘Jenna’ dibuat, bahkan bisa dibilang lebih rumit dan lebih dibutuhkannya pendalaman cerita. Dengan cerita yang sangkal, segmen ‘Miles’ ini malah menaruh banyak sekali tanda tanya pada alurnya, yang mana sangat disayangkan sekali kita tidak akan melihat bagaiman karakter Simon dan Mary lebih digali dan tentunya hubungan mereka dengan terror supranaturalnya.

Alur yang lebih kompleks dan durasi yang kurang memadai inilah yang menjadi sebuah penurunan dalam segmen film ini. Segmen ‘Jenna’ hadir dengan ide-ide horror yang sering kita temui dalam film-film horror pada umumnya, sebuah terror dan misteri pada suatu rumah tua. Sedangkan segmen ‘Miles’ ini bisa dibilang menjadi sebuah angin segar bagi cerita horror, bahkan drama yang hadir dalam segmen ini pun cukup kompleks, namun sayang penggalian alur dan karakter yang sangat dangkal menjadikan segmen ini layaknya sup tanpa bumbu, hambar. Akan cukup sulit bagi penonton untuk mengikatkan emosinya pada karakter dalam segmen dan alurnya, melihat ide yang hadri dalam segmen kedua ini cukup berbeda dari yang pertama dan bisa dibilang tidak begitu umum seperti segmen pertama. Bahkan saya sendiri merasa kurang bisa untuk merasakan apa yang Mary rasakan ataupun konflik-konflik  yang ia hadapi, bahkan memahaminya secara dalam pun dirasa kurang karena kembali lagi, durasinya sangat kurang.

Pada akhirnya segmen ketiga, ‘Bennet’ merupakan segmen terakhir, terlemah, dan pengikat setiap segmen dari film ini. Saya sendiri sebenarnya tidak begitu mengharapkan segmen pengikat dalam film antologi akan sama kuatnya dengan Segmen pengisinya, lihat saja V/H/S (2013) yang mana segmen pengikatnya tidak sekuat yang lain, namun masih berhasil menjadi pengikat yang cukup berhasil dan sangat menarik. Sedangkan segmen ‘Bennet’ ini yang mengikat ketiga segmen dalam film, terasa hambar dan membuat saya menyadari bahwa tidak ada chemistry, antar satu segmen dengan yang lainnya. Ketiga segmen yang hadir ini terlalu timpang antar satu dengan yang lainnya, sehingga segmen ‘Bennet’ ini malah terasa dipaksakan sebagai pengikat agar film ini sukses disebut sebagai film antologi yang saling sambung menyambung, kenyataannya tidak. Ketimpangan segmen yang sangat terlihat inilah yang menjadikan Book of Blood lemah dalam penceritaan, terlebih lagi pada segmen kedua dimana merupakan segmen terpenting namun juga kurang digali sehingga tidak terasa sepenting itu. Saat sampai di segmen terakhir, kita baru menyadari betapa pentingnya segmen ‘Miles’, hal itu nampak sudah sia-sia.


Selain penceritaan yang cukup lemah dan kurang digali ini, Book of Blood memiliki kelebihan yaitu terletak pada gore atau kesadisannya. Saya sendiri cukup puas dengan tingkat kesadisan yang hadir dalam film ini, terlebih lagi pada Segmen pertama, kita beberapa kali akan dibuat ngilu oleh beberapa scene. Kembali lagi, sangat disayangkan Book of Blood condong menggunakan CGI untuk sosok hantunya, yang mana membuat efek seramnya berkurang cukup signifikan. Padahal di segmen kedua saat kelimaks berlangsung, akan lebih baik jika visual para hantu yang hadir itu dibuat dari practical effect, akan menaikkan tingkat keseraman dan realistis, namun nampaknya efek CGI lah yang dipilih. Jumpscare yang hadir di film ini pun tidak begitu banyak, dan saya hanya terkejut sekali saja, ada beberapa scene yang dibangun cukup menegangkan dengan sangat baik, tensinya terasa sehingga membuat kita sebagai penonton menutup mata atau mengintip sedikit saja, berharap agar tidak dikagetkan oleh penampakan-penampakan mengerikan itu.

Seluruh aktor dan aktris yang hadir dalam film ini pun memberikan penampilan terbaik mereka, terlebih lagi Britt Robertson yang memerankan sosok Jenna yang memiliki masalah mental dan tengah bergelut dengan rasa traumanya, segala rasa takut yang dirasakan oleh Jenna berhasil Robertson tuangkan dalam performanya. Membuat saya yakin akan sosok Jenna yang sangat kesulitan untuk melakukan kesehariannya karena penyakitnya tersebut.

Pada akhirnya Book of Blood menjadi sebuah sajian yang cukup menarik namun sangat kurang menggigit. Sebagai horror antologi yang saling mengikat satu sama lain, film ini tidak berhasil melakukannya, memberikan chemistry yang layak antar segmennya dan durasi yang seimbang. Penggalian alur pun terasa dangkal dalam kedua segmen terakhir, membuat film ini hanya kuat pada segmen utama. Jika saya melihat film ini hanya per-segmen nya mungkin masih bisa saya katakan cukup baik, namun jika dilihat secara keseluruhan Book of Blood gagal menjadi horror antologi yang memuaskan. Segmen ‘Jenna’ lah yang menjadi sebuah penyelamat dan juga kejatuhan dari segmen-segmen lainnya, sebagai segmen pembuka yang sangat kuat membuat segmen lainnya tidak bisa mengimbangi kematangan plot dan karakternya.

Rating


45%

Komentar