Review: Pengabdi Setan (2017)

Pengabdi setan menceritakan mengenai sebuah keluarga yang tengah dilanda kesulitan ekonomi. Sang Ibu (Ayu Laksmi) yang dahulunya merupakan seorang penyayi, kini hanya bisa terbaring sakit di kamarnya selama tiga tahun. Karir Sang Ibu yang semakin meredup dan kondisinya, membuat Sang Ayah (Bront Palarae) memutar otak demi tetap menghidupi keluarganya, mereka pun mau tak mau menggadaikan rumahnya dan memutuskan untuk tinggal dengan Sang Nenek (Elly D. Luthan). Tanpa disangka-sangka, Sang Ibu meninggal dengan misterius. Ekonomi yang semakin memburuk memaksa Sang Ayah untuk pergi ke Kota meninggalkan ke-empat anaknya; Rini (Tara Basro), Tony (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz) dan si bungsu –Ian (M. Adhiyat). Namun kepergian Sang Ayah ini membuat kodisi di rumah semakin mencekam, Sang Ibu yang sudah dimakamkan tiba-tiba kembali ‘pulang’. Terror demi terror pun muncul sepergian Sang Ayah, Rini mencoba mencari tau apa yang sebenarnya terjadi dibalik terror tersebut.

Pengabdi Setan merupakan sebuah gebrakan yang cukup mengejutkan, banyak yang berkomentar mengenai keberanian Joko Anwar dalam me-remake Pengabdi Setan dan menyuguhkannya dengan nuansa-nuansa yang lumayan modern dan masih dekat dengan masyarakat. Dirilis pada 28 September 2017, banyak sekali yang menunggu kehadiran Pengabdi Setan garapan Joko Anwar, bahkan digadang-gadang sebagai film horror Indonesia yang sangat menyeramkan. Joko Anwar pun akhirnya mempersembahkan Pengabdi Setan, dengan alur keseluruhan yang masih sama dengan pendahulunya pada tahun 1982. Saya sendiri akan mengakui bahwa belum pernah menonton Pengabdi Setan (1982) –namun sudah membaca premis film tersebut, maka dari itu saya sendiri tidak akan membandingkan Pengabdi Setan garapan Sisworo Gautama Putra dengan Joko Anwar.

Pengabdi Setan dibuka dengan kondisi keluarga Rini, kita juga tentunya akan diperlihatkan kondisi Ibu yang mana akan menjadi poros utama dalam alur film ini, dimana seluruh konflik yang tentunya akan terus berputar mengitari dan tentunya berkaitan sangat erat dengan sosok Ibu. Sang Ibu juga akan menjadi poros dalam kengerian yang hadir dalam Pengabdi Setan, Joko Anwar selaku sutradara dan penulis naskah pun tidak malu-malu untuk menyuguhkan atmosfer mencekam nan mengerikan sedari pembuka film. Kita akan mengikuti bagaimana kondisi Ibu yang sudah sakit keras, memaksa anak-anaknya untuk mengurus Sang Ibu, tentunya dengan ikatan emosional yang berbeda-beda. Rini dan Tony sendiri nampak sayang pada sang Ibu dan tidak keberatan mengurusi sang Ibu –meski memang Tony lah yang nampaknya memiliki ikatan yang sangat kuat kepada Sang Ibu tersayang. Sebaliknya, Bondi merasa ketakutan atas kondisi Sang Ibu, dan Ian hanyalah sang bungsu yang masih belum memahami kondisi Sang Ibu –hanyalah anak kecil polos yang masih melihat dunia dengan perspektifnya. Hadirnya perspektif berbeda dari ke-empat anak tersebut, membuat kita juga memahami peran Sang Ibu dalam keluarga mereka, yang mana tentunya Sang Ibu bak matahari yang menjadi pusat tata surya dalam keluarga mereka. Kemudian tiba-tiba tata surya tersebut menjadi hancur saat pusatnya lenyap.

Film horror yang mengusung tema keluarga merupakan film horror yang cukup efektif namun cukup sulit untuk dibuat, mengingat kita sendiri akan melihat konflik-konflik yang mungkin tidak jauh berbeda dengan keseharian kita, beberapa bisa saja relate dengan apa yang terjadi dalam alur filmnya. Ikatan-ikatan kuat antar anggota keluarganya pun sangatlah penting untuk meyakini para penonton bahwa mereka adalah sebuah keluarga, untungnya Pengabdi Setan menggambarkan sebuah keluarga yang menjanjikan dan tentunya dibalut dengan konflik yang tidak jauh dari konflik keluarga pada umumnya. Dengan atmosfer kelam nan mencekam yang sudah disodorkan oleh Joko Anwar sedari Pengabdi Setan dimulai, kita dituntun untuk menuruni jurang kengerian tatkala Sang Ibu tiada. Menuruni rasa duka yang dialami oleh para anggota keluarganya, tentunya dengan perspektif masing-masing yang berbeda. Terlebih lagi permasalahan ekonomi menjadi sebuah  konflik yang cukup besar. Konflik demi konflik yang dihadirkan dalam film ini pun dengan baik disajikan oleh Joko Anwar, membuat para karakternya terkepung oleh keputusasaan atas situasi mereka. Dibalik konflik-konflik yang dialami oleh karakter, tentunya terror akan setia menemani perjalanan mereka. Joko Anwar sendiri sukses untuk menuntun kita ke dalam kengerian yang lebih mencekam, dengan sosok Ibu yang kembali ‘pulang’ menjadi terror utamanya.

Film ini sendiri mungkin bisa dikatakan sebagai film horror yang tidak begitu segar, nampak dari cukup banyak trope film horror yang cukup klise hadir dalam film ini. Seperti dimana para tokoh tinggal di sebuah rumah terpencil di pedalaman hutan, akses komunikasi yang terbatas. Alurnya sendiri bisa dibilang hadir seperti film horror supranatural kebanyakan, sebuah keluarga yang dihantui oleh sosok supranatural. Joko Anwar menyajikan terror yang bisa dikatakan cukup efektif namun mainstream. Saya sendiri cukup meyukai bagaimana Joko anwar membangun terror dan atmosfer yang mencekam, membuat para penonton merasa ketakutan. Bagaimana beliau perlahan-lahan memberitahu para penonton bahwa ada sesuatu dibalik kegelapan rumah tersebut, atau sesuatu dibalik pintu. Bahkan Joko Anwar sukses untuk membuat para penonton ikut ketakutan akan suara bunyi lonceng layaknya Rini dan Tony, menanamkan rasa paranoid dan was-was terhadap bunyi lonceng. Namun, film ini pun nampaknya terlalu terburu-buru ingin membuat para penonton terlonjak di kursinya. Bisa dikatakan pembangunan atmosfer yang hadir sedari awal nampak semakin melemah seiring berjalannya durasi. Jika di babak awal kita diberikan atmosfer terror yang cukup seimbang dengan jumpscare, pada babak selanjutnya film ini nampak terlalu berfokus pada jumpscare dan melupakan atmosfer kelam yang seharusnya terus dibangun. Meskipun jumpscare yang hadir bisa dikatakan efektif untuk menakuti para penonton, repetisi jumpscare yang berlanjut membuat saya ‘kebal’ dengan jumpscare-nya. Bahkan saya sendiri bisa menebak kapan jumpscare akan muncul. Tanpa adanya atmosfer yang mendukung, jumpscare yang hadir pun terasa tidak natural dan dipaksakan.

Beruntungnya, Joko Anwar mampu menggiring penonton mengikuti misteri yang menyelimuti keluarga tersebut dalam alurnya. Kita disuguhkan sedikit demi sedikit mengenai sosok Ibu dan misteri di baliknya, mengapa hal ini bisa terjadi dan seterusnya. Joko Anwar pun terkesan rapih dalam menyebarkan misteri dalam film Pengabdi Setan ini, membuat kita terus mengikuti para anggota keluarga ini untuk mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. Alur yang dihadirkan pun berkaitan dengan unsur religi, mengingat film ini bertemakan sekte maka unsur religi yang hadir pun tidak terkesan dipaksakan. Bahkan saat mengetahui bahwa Sang Ibu memang sudah terikat oleh perjanjian sekte tersebut, Rini tidak menjadi sesosok tokoh yang ‘melawan kejahatan dengan kebaikan’ seperti trope horror kebanyakan. Rini mencoba untuk melakukan yang terbaik demi keluarganya, karena ia tau bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan sekte dan segala bencana yang disebabkannya itu. Terlebih lagi Rini pun menyadari bahwa keluarganya sudah jatuh terlalu dalam ke dalam, mengingat mereka pun nampak sangat bergantung pada sosok Ibu yang ternyata menyimpan rahasia yang membuat nyawa mereka terancam.

Saya sendiri cukup terkejut saat mendapati Sang Ustadz yang tidak berdaya pada saat klimaks berlangsung, Joko Anwar berani mengambil langkah berbeda dalam penggambaran sosok Ustadz dalam film ini. Biasanya dalam film horror superanatural sosok Ustadz digambarkan sebagai sosok yang ‘serba bisa’ dan pasti menang, namun Joko Anwar dalam filmnya kali ini mengingatkan kita bahwa Ustadz pun hanyalah manusia seperti halnya Rini dan keluarganya.

Di balik indahnya alur yang disuguhkan, film ini nampaknya ingin memberikan banyak hal agar misteri semakin kuat, namun berakhir menjadi boomerang saat eksekusinya berantakan. Narasi yang hadir kurang mengerucut, memberikan kita berbagai plot hole. Terlebih lagi pada saat babak kedua hingga akhir, film ini terasa seperti ingin menyuguhkan berbagai informasi baru untuk menambah kesan ngeri dan mencekam pada alurnya, namun semuanya malah terkesan kurang matang saat tidak ada penggalian plot yang dalam, membuat semakin banyak tanda tanya yang muncul. Bahkan, beberapa karakter pun terkesan kurang natural dalam berbaur, ataupun kurang tergali dengan baik. Bahkan, ada beberapa informasi yang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk menambah kesan plot twist namun berakhir gagal, malah terkesan seperti plot twist malas, terlebih lagi sedari awal kita tidak diperlihatkan dengan begitu jelas mengenai ikatan Sang Ibu dengan sekte tersebut, yang mana saat ada informasi penting (terlebih lagi plot twist) mengenai sekte itu tidak akan terasa terlalu spesial karena kita hanya mendengar sekte tersebut dari mulut ke mulut bukannya melihat langsung.

Sinematografi yang dihadirkan dalam Pengabdi Setan sangat berperan besar dalam menakuti para penontonnya. Penggunaan kamera yang membuat para penonton menanti kehadiran hantu atau membuat mereka penasaran apakah ada jumpscare atau tidak, sukses untuk memperkuat atmosfer yang hadir. Penggunaan dutch angle pun menambah kesan misterius dan suspense yang hadir, sehingga kita dapat merasakan apa yang sang tokoh tersebut rasakan tatkala menemukan hal yang mengerikan atau mencoba menggali kebenaran yang terkubur dalam tumpuka misteri. Dibantu dengan scoring yang sama-sama mendukung sinematografi, Pengabdi Setan sukses untuk membawa para penonton ke dalam dunianya yang mengerikan. Bahkan, saya akui sinemaografi yang hadir dalam Pengabdi Setan cukup fresh untuk sebuah film horror Indonesia. Wide Shot yang digunakan pun menambah kesan misteri yang dihadirkan, terlebih lagi pengambilan gambarnya masih memberikan kesan misteri dan suspense meskipun kita bisa melihat keadaan sekitar para tokohnya.

Aktor dan Aktris ang hadir dalam film ini pun memberikan performa terbaik, bahkan saya sendiri sangat jatuh hati pada M. Adhiyat yang memerankan Ian. Cukup sulit untuk mencari seorang aktris cilik yang mampu memberikan performa yang sangat menakjubkan, terlebih lagi dia memerankan peran yang cukup penting dan ada di film Horror. Tokoh Ian berhasil diperankan dengan sangat baik, bahkan saat plot twist mengenai Ian muncul pada babak akhir, saya cukup terkejut karena saya sendiri sudah diyakini oleh sosok Ian yang saya lihat sejak awal film dimulai. Penokohan dalam film ini bisa dikatakan cukup baik, meski beberapa ada yang terkesan kurang digali sehingga sedikit sulit untuk berempati terhadap karakter tersebut. Beberapa narasi/dialog yang dilontarkan oleh para tokoh dalam film ini terkadang terasa kaku, Terlebih lagi Rini yang bahkan terkadang seperti membacakan puisi, apalagi saat Rini dan Hendra tengah berbincang saya merasa mereka sedang saling membalas puisi –tidak natural dan seperti terlalu baku untuk ukuran dialog sehari-hari.

Pada akhirnya, Pengabdi Setan garapan Joko Anwar bukanlah sebuah film yang sempurna dan fresh, namun merupakan sebuah gebrakan besar atas genre horror dalam perfilman Indonesia. Joko Anwar mampu memberikan sebuah sajian baru dalam perhorror-an Indonesia, yang mana bisa kita lihat cukup efektif hingga sekarang. Dengan Sinematografi yang memanjakan mata, membuat kita terbuai atas kebaharuan yang hadir dalam menakut-nakuti para penonton di Pengabdi Setan. Meskipun ada beberapa kekurangan dalam alur, Pengabdi Setan dapat dinikmati dan mejadi sebuah tontonan yang menyenangkan dengan berbagai twist yang menarik, karena dieksekus dengan tepat. Hadir seperti wahana lama namun memberikan pengalaman baru sembari bernostalgia ria. Terlebih lagi Joko Anwar tau bagaimana cara menakut-nakuti para penonton dengan efektif, membuat mereka terjungkal di kursi dan berteriak kencang. Pengabdi Setan hadir sebagai sajian yang sangat dapat dinikmatii entah itu bersama atau sendiri.

Bagi kalian yang sangat menyukai film dan ingin mendapatkan banyak informasi mengenai Film, kalian bisa kunjungi Bacaterus. Di sana kalian bisa menemukan tulisan-tulisan menarik mengenai banyak film loh! Ayo buruan kunjungi Bacaterus!

Rating

source: IMDB
 60%

Komentar