Review: The 8th Night (2021)


The 8th Night menceritakan tentang seorang biksu muda, Cheon-seok (Nam Da-reum), yang ditugaskan untuk mencari seorang mantan biksu, Seonhwa (Lee Sung-min). Pencarian tersebut sendiri bertujuan untuk menghentikan sebuah monster dengan kekuatan jahat yang telah bangkit, dan hendak membuat kekacauan dalam dunia. Monster tersebut memiliki sepasang mata -- mata hitam dan mata merah, yang dipisahkan dan disegel. Kedua mata tersebut ditaruh di kedua tempat berbeda yang amat sangat jauh agar tidak dapat dengan mudahnya bersatu. Namun, suatu ketika seseorang melepaskan mata merah yang kini mencari mata hitam untuk dapat bersatu kembali dan membuat kekacauan di dalam dunia. Sang mata merah pun membutuhkan delapan hari dan tujuh orang untuk dapat membangkitkan kekuatan yang sesungguhnya. Akankah Cheon-seok dan Seonhwa dapat menghentikan monster jahat tersebut?

Saya sendiri sebenarnya tidak tau bahwa akan ada film horror korea baru yang tayang di Netflix, dan saat saya melihat film ini terpampang pada websitenya, saya langsung menontonnya tanpa membaca sinopsis lebih lanjut mengenai film ini. Sehingga, bisa dikatakan, saya menonton film ini dengan buta, bahkan nama-nama pemerannya pun saya tidak tau dan tidak begitu paham film ini menceritakan tentang apa, dan membiarkan film ini saja yang benar-benar menjelaskannya pada saya.

Not your typical horror movie, adalah sebuah kalimat yang bisa saya deskripsikan saat saya tengah menonton film ini hingga paruh awal menuju paruh kedua. Film garapan Tae-Hyung Kim ini dibuka dengan cerita dari asal mula monster yang akan menjadi lawan utama dalam film ini dan bagaimana sang budha menyegelnya dan memisahkan kedua matanya agar tidak bersatu. Kemudian kita akan diperkenalkan kepada seorang antropolog, Profesor Kim Joon-cheoi (Choi Jin-ho) yang menemukan salah satu peti dari mata tersebut di sebuah gurun pada tahun 2005. Namun, penemuannya tersebut dikatakan sebagai penemuan palsu dan akhirnya dia diasingkan karna kepalsuan penemuannya tersebut. Obsesi sang profesor untuk membuktikan kebenaran dari penemuannya inilah yang memembuat petaka dalam film ini dimulai. Sang mata merah bangkit dan membuat kekacauann untuk menemukan sang mata hitam.

Film ini sendiri bisa dibilang memiliki alur yang cukup lambat dan bisa dikatakan sebagai film horror slowburn, dimana sedari awal pembangunan tensinya lambat dan dibangun sedemikian rupa untuk memberikan klimaks yang nendang atau menggebrak. Saya sendiri merupakan penggemar dari film horror ataupun film genre lain yang memiliki style slowburn. Film ini sendiri memiliki durasi 1 jam 56 menit yang mana bagi saya memiliki waktu yang cukup untuk menceritakan atau membangun narasi dengan baik, tentunya membangun tensi-tensi yang baik. Namun dalam paruh awal film ini, saya cukup terkejut saat mendapati pace yang cukup cepat dalam film ini. Di paruh awal sendiri kita sudah mendapati berbagai insiden terkait bangkitnya sang mata merah, dan tentunya memakan korban jiwa yang sudah lebih dari satu.

Paruh awal yang cepat ini juga ditandai dengan berlalunya sekitar 4 hari dalam settingnya, yang mana bagi saya cukup cepat mengingat sang mata merah membutuhkan waktu 8 hari dalam membangkitkan kekuatannya dan menemukan pasangannya --sang mata hitam. Saya sendiri melihat pace yang cukup cepat ini merasa sedikit skeptis. Karena dalam keempat hari tersebut, saya sendiri tidak merasa ada sebuah pengembangan cerita yang cukup besar selain, Cheon-seok yang harus mencari sang mantan biksu, atau kematian-kematian misterius dari orang-orang, dan paruh awal hanya berjalan pada alur sejauh itu saja. Tentunya menuju paruh kedua kita akan mengikuti Cheon-seok yang telah menemukan sang mantan biksu tersebut dan membantu pencarian beliau. Menuju paruh kedua film ini masih memakai pace yang cukup cepat namun memang sedikit dipelankan karena konflik utama dalam film ini sudah mulai mengerucut di paruh kedua, sehingga nampak pace nya pun disesuaikan dengan konflik yang sudah sedikit mendapatkan sebuah titik terang.

Entah mengapa, saya merasa bahwa meskipun film ini memiliki pace yang terbilang cepat, namun film ini terasa sangat lambat dalam mengembangkan alurnya. Dengan pace yang cukup cepat itu, alurnya tidak bergerak secepat pace nya, bahkan bisa dibilang bertele-tele. Bahkan saya sendiri pada paruh awal sempat bertanya sebenarnya film ini ingin membaca penceritaannya ke arah mana. Munculkan tokoh detektif yang ikut serta menyelidiki kasus kematian orang-orang dengan misterius pun sebenarnya bagus, namun entah mengapa dieksekusi kurang matang sehingga eksistensi tokoh detektif dan pencariannya pun sama-sama mandek dan terasa hampa. Pengembangan cerita dan tokoh yang sangat lambat inilah yang menjadi titik terlemah dalam film ini, sehingga membuat film ini nampak seperti satu dimensi (one dimensional), atau bisa kita bilang sebagai dangkal.

Premis yang disuguhkan oleh film ini pun sangat menarik, terlebih lagi mengangkat tema budhisme dan cerita-ceritanya. Premisnya sangatlah menarik, dan bahkan saya sendiri cukup berharap akan ada adegan excorcist layaknya film-film berbau supranatural lainnya, terlebih lagi, kita melihat Seonhwa sudah berbekal kapak dan tasbih untuk mengusir kekuatan jahat yang akan menghadangnya. Namun, kapak maupun tasbih tersebut tidak digunakan selama kedua babak tersebut, dan hanya digunakan pada babak ketiga dan itupun tidak sebanyak yang saya kira. Untuk para penotnon yang menantikan jumpscare atau unsur-unsur klasik lainnya yang ada di film horror, kalian tidak akan menemukannya di film ini. Karena film ini sendiri tidak akan mengutamakan jumpscare , bahkan bisa dibilang film ini lebih kental pada genre Thriller.

Kelebihan dalam film ini sendiri adalah, meninggalkan misteri demi misteri dalam penceritaannya, sehingga kita akan merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dan siapa tokoh A dan tokoh B atau lain sebagainya. Dan pada akhirnya, di babak ketiga dijelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan tentunya dijelaskan pula hubungan antar tokohnya. Meskipun saya akui misteri yang disuguhkan oleh film ini terbilang sangatlah bagus, namun pengeksekusiannya terbilang tidak sebaik yang dikira. Alurnya terburu-buru dengan pengembangan yang lambat, merusak tatanan penceritaannya, sehingga saya sendiri terkadang merasa kebingungan. Kemudian dengan pengembangan cerita yang dangkal, membuat segala misteri ini terkesan ‘terlambat’ datang dan tidak bisa memperbaiki segala kekurangan dalam alurnya.

Dengan pembangunan yang lemah sedari awal, saat film ini mencapai klimaks, entah mengapa klimaks tersebut pun terasa mlempem dan biasa saja. Bahkan terkesan berakhir sangat cepat. Film ini terasa terburu-buru ingin menyelesaikan ceritanya, sehingga pada klimaks yang seharusnya menjadi final battle yang epic, malah terkesan sedangkal babak pertama dan babak kedua. Potensi film ini pun sebenarnya sangat besar dan bisa menjadi lebih baik apabila sedari babak awal menggunakan pace yang stabil dan pengembangan karakter yang baik. Bahkan kita pun tidak begitu mengenal tokoh Cheon-seok atau pun Seonhwa dengan baik, meskipun mereka punya hubungan yang lucu. Cheon-seok dan Seonhwa hadir sebagai tokoh utama tanpa dimensi, membuat kita kesulitan untuk mengikat perasaan kita terhadap mereka. Meskipun pada akhirnya terkuak sudah ternyata mereka memiliki hubungan yang tidak begitu baik pada masa lalu, namun hal tersebut terbangun tidak matang, sehingga saat kebenarannya terkuak, kita tidak merasakan emosi apapun terhadap kedua karakter tersebut.

Film ini nampak kebingungan untuk membangun konflik ataupun karakter yang hadir di dalamnya, sehingga pembangunan karakter maupun ceritanya tidak terbangun dengan baik dan bisa dikatakan mandek. Meskipun begitu, film ini memiliki misteri-misteri yang cukup berhasil membuat saya tetap duduk menonton, meskipun saya harus menahan keinginan untuk mematikan film ini karena entah mengapa sedikit membosankan. Dengan durasi hampir dua jam, film ini tidak mendapatkan pengembangan cerita yang diharapkan, konflik yang dihadapi kedua tokoh utama kita pun tidak disorot dengan maksimal, sehingga terasa seperti berlalu begitu saja. Dengan pengembangan yang tidak maksimal sedari awal, saat film ini mencapai klimaks, sama saja aterasa hambarnya. Sangat disayangkan sekali, jika saja sedari awal film ini memiliki pace yang stabil, fokus yang bagus dan pengembangan yang terbangund dengan baik (bisa saja mengutamakan pengembangan tokoh atau konflik terlebih dahulu), maka film ini akan menjadi film yang sangat menarik dan mudah dinikmati.

Rating

50%

Komentar