Review: The Empty Man (2020)

 


Menceritakan mengenai seorang mantan polisi, James Lasombra (James Badge Dale), yang menyelidiki hilangnya seorang gadis bernama Amanda (Sasha Frolova), yang juga merupakan tetangga James. Menghilangnya Amanda pun disusul oleh menghilangnya beberapa kawan terdekatnya. Namun, penyelidikan yang ia lakukan tersebut menguak sebuah kultus mengerikan yang mencoba untuk membangkitkan suatu entitas jahat bernama The Empty Man.

Awalnya saat membaca judul dari film ini, entah mengapa saya sudah sedikit pesimis. Mungkin karena judul dari film ini sendiri mirip-mirip atau seirama dengan film The Bye Bye Man (2017) dan The Slenderman (2018). Yang mana kedua film tersebut bisa dibilang tidak bagus dan tak sedikit pula yang memberikan ulasan buruk mengenai kedua film tersebut --meski saya sendiri sebenarnya belum menonton film Slenderman dan enggan menontonnya. The Empty Man dengan judulnya pun membuat saya tidak memberikan ekspetasi besar saat akan menontonnya, sehingga saya membaca sinopsis singkat mengenai film ini terlebuh dahulu sebelum menonton, untuk memastikan apakah sinopsisnya menarik atau tidak.

Film garapan David Prior ini dibuka dengan setting tahun 1995, dimana empat orang pemuda-pemudi tengah mendaki di sebuah pegunungan di Bhutan. Namun salah satu dari keempat pendaki tersebut terjatuh ke dalam sebuah lubang dimana di dalamnya ia menemukan sesuatu yang mengerikan dan membuatnya mengalami koma. Dengan situasi yang semakin memburuk, keempat pendaki tersebut memutuskan untuk bermalam di sebuah rumah kosong, sembari mencoba untuk merawat temannya yang tengah koma tersebut. Namun, keadaan pun tidak membaik dan semakin mengerikan dengan hal supranatural yang menerror mereka di tengah gunung dengan cuaca badai.

Pembukaan dari film ini sendiri memakan durasi sekitar 20 menit, dengan total durasi film 2 jam 17 menit, yang mana cukup panjang. Bisa terlihat dari sini David Prior selaku sutradara ingin memberikan terror perlahan namun pasti dalam filmnya. Bagi saya, pembuka The Empty Man merupakan pembuka yang sangat bagus, membuat para penonton penasaran dengan kelanjutan cerita yang ada dalam film ini. Saya sendiri berfikir bahwa pembuka dari The Empty Man ini sendiri bisa saja menjadi suatu film pendek yang bagus, saya sendiri dibuat terkejut karena 20 menit itu masih merupakan pembuka film ini, kita belum sampai pada cerita yang sesungguhnya, dan sudah disajikan dengan penceritaan yang begitu menegangkan dan misterius.

Setelah pembuka yang sangat mencengangkan nan indah tersebut, kita akan dibawa pad atahun 2018, mengikuti James yang merupakan seorang mantan polisi, tengah sendirian merayakan ulang tahunnya di sebuah restauran. Kemudian, kita akan diperkenalkan pada karakter Amanda yang akan menjadi kunci dari segala misteri dan terror yang hadir dalam film ini. Amanda menghilang secar amisterius, membuat James menyelidiki menghilangnya Amanda dan berujung mendapati bahwa kejadian tersebut diakibatkan oleh ulah The Empty Man.

Saya sendiri sebenarnya cukup terkejut dengan pembuka dan babak awal yang cukup ‘jauh’ settingnya, bahkan dalam sinopsis yang tertera pada situs IMDB pun kita akan mendapati potongan alur mengenai James yang menginvestigasi menghilangnya Amanda, bukannya mengenai takdir tragis keempat pendaki yang mendaki pegunungan di Bhutan. Saya bahkan sempat mengecek apakah saya menonton film yang salah, dan pada akhirnya setelah pembuka berdurasi 20 menit tersebut, saya baru menyadari bahwa sudah menonton film yang benar. Ketimpangan ini sebenarnya tidaklah buruk, mengingat pada pembuka bersetting pada tahun 1995 dan pada babak awal bersetting pada tahun 2018, jika dipikir itu bukanlah hal yang janggal, namun mungkin akan mengagetkan beberapa penonton dengan berubahnya setting yang cukup kontras ini. Namun perubahan setting yang cukup kontras ini sendiri memberikan sebuah misteri besar yang ada dalam film ini, yaitu apa hubungan keempat pendaki tersebut dan menghilangnya Amanda? Tentunya kita akan mengikuti James yang mencoba untuk mencari tahu keberadaan Amanda tersebut.

Misteri demi misteri disuguhkan dalam film ini, perlahan namun pasti. David Prior, nampaknya ingin membuat para penonton memahami apa yang tengah terjadi dalam film ini, dan apa yang James hadapi dalam film ini. Mengingat film ini berdurasi dua jam lebih, saya rasa David Prior melakukan yang terbaik untuk memberikan terror dan misteri yang hadir. Sosok The Empty Man sendiri masih dipertanyakan keberadaannya, mengingat The Empty Man hadir layaknya sebuah urban legend di kalangan remaja, bahkan disebut sebagai ‘suatu cerita bodoh’, membuat kaburnya sosok The Empty Man ini, apakah The Empty Man ini nyata ataukan tidak? Segala misteri yang hadir dalam film ini pun dibuat sedimikian rapihnya, sehingga setelah kita mendapati satu petunjuk masih ada misteri lain yang harus diungkap oleh James.

Dibantu dengan sinematografi dari Anastas N. Michos yang tentunya menambah kesan misteri, dengan pengambilan gambar yang sederhana namun mampu mengatakan bahwa ‘ada banyak misteri yang hadir dalam film ini’. Tak hanya itu, sinematografi yang dihadirkan dalam film ini pun mampu memberikan kesan indah disetiap pengambilan gambarnya, terutama pada pengambilan gambar pembuka di gunung. Kesan indah nan misterius sangat terasa dalam pengambilan gambar tersebut. Sehingga sangat membantu jalan cerita yang menggunakan misteri sebagai senjata utamanya. Musiknya pun sederhana, tentunya tak memekakan telinga, namun mampu membangun ketegangan yang ada dalam film. Tidak ada Jumpscare yang berlebihan, bahkan sangat minim jumpscare. Film ini berpegang pada atmosfer dan jalan cerita yang penuh misteri sebagai alat untuk membuat para penonton tetap duduk diam.

Tak hanya kesan misterius. Sepanjang durasi berjalan, film ini juga memberikan kesan ‘tidak nyaman’ pada para penonton. Semakin durasi berjalan, kita semakin menyadari bahwa James berada pada situasi yang tentunya tidak aman bagi dirinya, bahkan banyak sekali orang-orang yang berkelakuan aneh di sekitarnya, atmosfer yang dibangun dalam film ini pun semakin terasa ‘asing’ dan ‘tidak nyaman’, dan hal tersebut tentunya menambah kesan bahwa apa yang akan James hadapi bukanlah hal yang wajar atau diterima oleh nalar dirinya atau bahkan para penonton.

Hal yang membuat saya takjub sekaligus kebingungan adalah berubahnya genre film ini pada setiap babaknya. Pada babak awal --termasuk pembuka, kita diberikan genre horror-supranatural, yang tentunya kita menemukan bahwa entitas jahat lah yang menjadi villain utama dalam film ini. Namun, kemudian pada babak dua, dimana James mulai menyelidik lebih dalam mengenai menghilangnya Amanda, kita disuguhkan pada genre Thriller ala-ala detektif dan melupakan horrornya, kemudian pada babak ketiga sekaligus penutup kita dilempar ke genre Cosmic Horror yang mana membuat saya cukup tercengang. Perpindahan genre yang sangat terlihat ini mungkin akan membuat sebagian penonton merasa kecewa, termasuk saya yang mengharapkan bahwa film ini akan sepenuhnya bergenre supranatural horror. Saat menginjak babak kedua, saya langsung menyadari perpindahan genre tersebut, saya sendiri merasa sedikit terganggu dengan perpindahan genre yang sangat terlihat tersebut dan datang entah darimana tentunya.  Mengingat bahwa film ini tentunya berfokus pada pencarian Amanda, saya mencoba untuk memaklumi perpindahan genre yang terjadi itu.

Dengan durasi yang mencapai dua jam lebih ini, entah mengapa film ini nampak seperti terlalu bertele-tele. Nampaknya David Prior ini mencoba sekuat tenaga untuk memaksimalkan misteri yang ada, tentunya dengan memberikan berbagai petunjuk dari misteri tersebut, sedikit demi sedikit agar tidak menimbulkan plot hole. Misteri demi misteri pun tentunya muncul ke permukaan seiring berjalannya durasi, dan David Prior mencoba untuk menata misteri demi misteri tersebut agar tertata rapih. Namun, saya sendiri tidak mengelak bahwa film ini memang terasa sedikit bertele-tele, meski masih bisa saya tolerir, mengingat saya sendiri cukup puas dengan segala misteri yang muncul seiring berjalannya durasi. Namun, mungkin bagi beberapa penonton hal inilah yang menjadi sebuah kekecewaan, ditambah lagi dengan genre thriller misteri yang menjadi dominan dibandingkan horror supranatural yang disuguhkan di awal. Saya sendiri berusaha menangkap apa yang terjadi dalam film ini meskipun sangat sulit di awal, karan cukup banyak informasi yang muncul dan cukup banyak juga plot twist yang hadir, karena sosok The Empty Man yang masih ambigu sejak awal menuju pertengahan. Namun pada babak ketiga yang mana menjadi eksekusi dari segala misteri yang ada, hadir sebagai pencerah yang menakjubkan.

Pada babak tiga yang juga merupakan klimaks film ini, akan membuat sebagian penonton kebingungan, terlebih lagi jika mereka tak awam atau tak menyukai film bergenre Cosmic Horror atau Lovecraftian. Namun, saya yang sangat menyukai genre Cosmic Horror atau Lovecraftian ini, mendapati babak ketiga ini sebagai penyimpul yang indah dari segala misteri yang hadir. Bahkan di babak tiga juga, saya baru menyadari bahwa film ini merupakan film bergenre Cosmic Horror sedari awal, namun tentunya masih ditutupi oleh genre horror-supranatural dan Mystery-Thriller yang membaluti alur cerita film ini. Namun, jika kita simpulkan secara keseluruhan, film ini memiliki genre Lovecraftian atau Cosmic Horror. Yang tentunya ditutup dengan cukup mengerikan, bahkan klimaksnya pun benar-benar sangat sulit diterima oleh otak, dan butuh beberapa waktu untuk mencerna semuanya. Namun sangat beruntung babak ketiga ini berhasil menggebrak dan menjadi penyelamat film ini.

Secara keseluruhan, The Empty Man ini sendiri hadir dengan alur yang sangat penuh misteri dan tanda tanya di dalamnya. David Prior dengan indahnya membuat kita melihat bagaimana James perlahan menguak misteri demi misteri yang ada dan hanya mendapati misteri mengerikan lainnya terkuak. Plot twist yang hadir dalam film ini pun cukup bagus dan mampu membuat saya berkata ‘What The Hell?!’. Meski perpindahan genre yang terlihat secara terang-terangan dan mungkin akan menganggu sebagian penonton, film ini masih berhasil untuk menyampaikan alur dan narasinya dengan indah, terlebih lagi kita akan dikejutkan oleh twist ending yang cukup mencengangkan di akhir. Meskipun film ini tidaklah sempurna, masih ada kekurangan disana-disini, terutama pada penceritaan atau alur yang sebenarnya lebih cocok untuk dijadikan sebgaai TV-Series atau serial TV, karna masih banyak hal yang harus dikuak, dan untuk dijadikan sebuah film nampaknya alurnya terasa terburu-buru dan masih meninggalkan pertanyaan dibenak penontonnya. Pada akhirnya, The Empty Man bukanlah sekedar urban legend belaka, melainkan terror dari perpaduan banyak genre yang akan meninggalkan kengerian di luar nalar kita, dan tentunya terror tersebut berhasil disampaikan dengan baik. 

Rating


75%

Komentar

Posting Komentar