Review: The Soul Collector (2019)

The Soul Collector, yang juga berjudul 8, menceritakan tentang William (Garth Breytenbach), Sarah (Inge Beckmann) serta putri angkatnya Mary (Keita Luna) yang kembali ke rumah warisan ayah William –di Afrika Selatan, setelah keluarga mereka bangkrut. Di sana ia bertemu dengan seorang pria misterius bernama Lazarus (Tshamano Sebe) yang mengaku bahwa sebelumnya ia bekerja untuk ayah William sebelum beliau wafat. Namun ternyata Lazarus sendiri bukanlah orang yang disukai, Warga yang tinggal di sebuah desa kecil yang tak jauh dari kediaman William ternyata sangat membenci Lazarus dan menginginkannya mati. Mereka mengatakan bahwa Lazarus-lah penyebab banyak warga yang mati, ia dituduh mengambil jiwa orang-orang demi putrinya yang sudah mati. Kedatangan Lazarus pun mendatangkan hal supranatural pada kediaman keluarga William dan mengancam nyawa mereka.

Saya menonton film ini tanpa tau tentang apa film ini, sehingga diawal nonton saya tidak memiliki ekspetasi apapun perihal film ini. Bisa dibilang saya menonton film ini seperti gambling, saya tidak tau akhirnya apakah akan menguntungkan untuk saya atau sebaliknya. Setelah saya menonton film ini, barulah saya mencari tau informasi general perihal film ini dan ikut mengintip rating yang diberikan orang lain untuk film ini, apakah mereka sepemikiran dengan saya saat selesai menonton film ini atau tidak?

The Soul Collector adalah sebuah tontonan yang cukup menyegarkan bagi saya, karna akhir-akhir ini saya kerap kali disuguhkan film yang bertema yang cukup sering diulang-ulang, entah itu rumah berhantu atau lain-lainnya. The Soul Collector memberikan suasana yang baru bagi mata dan otak saya, menyuguhkan cerita mengenai hal-hal mistis yang tak jauh dengan kutukan atau pemanggilan iblis. Memang terdengarnya seperti tema yang sudah biasa dibawakan film horror sebelumnya bukan? Tapi film ini tidak selalu memunculkan hantu atau iblis yang menjadi ancaman para karakter, film ini menampilkan beberapa konflik antara satu karakter dengan yang lainnya. Konflik yang dihadirkan pun seputar kutukan-kutukan atau hal-hal mistis yang dibawa oleh Lazarus yang merupakan seorang dukun juga, tentunya juga tentang orang desa yang sangat membenci Lazrus dan berencana untuk membunuhnya. Sebuah pertanyaan besar di sini, mengapa bisa seluruh warga desa sangat membenci Lazarus sampai ingin membunuhnya sesegera mungkin?

Film ini pun tidak sekedar jumpscare atau wujud iblis yang bisa saya akui cukup menyeramkan. Memang ada beberapa jumpscare dan scene yang cukup creepy. Namun, film ini pun tidak lupa untuk memberikan kita asal muasal tentang terror yang terjadi pada rumah yang ditinggali oleh William dan di desa warga. Di sini juga kita diperlihatkan hubungan pertemanan antara Lazarus dan Mary. Lazarus kerap kali bercengkrama dengan Mary dan nampak seperti orang yang benar-benar memahami Mary. Harold Holscher selaku sutradara, mampu untuk perlahan-lahan memberikan kita pandangan-pandangan mengenai seluruh karakter dalam film ini. Holscher mampu menampakkan Lazarus yang nampak berhati baik saat ia bercengkaram dengan keluarga William, terutama Mary, tak lupa dengan Lazarus yang sedang diburu oleh warga desa. Membuat semakin banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikiran kita.

Holscher sangat berhati-hati untuk meramu misteri dan jawaban yang ada dalam film ini, sehingga kita kerap kali mempertanyakan seluruh karakter dalam film ini dan apa motif mereka, terutama Lazarus. Lalu saat terungkap sudah ternyata Lazarus menyimpan anaknya yang sudah mati –yang sudah menjadi iblis, dalam ranselnya, kita sudah tau bahwa Lazarus bukanlah orang baik. Namun hubungan dia dengan Mary –rencananya terhadap Mary, serta motif Lazarus yang bisa dibilang cukup misterius, membuat kita bertanya-tanya apakah ia patut dibenci atau tidak atas tindakannya tersebut. Memang terlihat jelas Lazarus bukanlah sosok yang baik, ada niat jahat dibalik topengnya yang berpura-pura baik, akting dari Tshamano Sebe sangatlah bagus untuk meyakinkan kita bahwa akan sulit untuk membenci Lazarus, karna sosoknya yang charming dan bertutur kata baik, namun tentunya diapun berhasil memberikan aura misterius.

Jumpscare bukanlah senjata utama bagi film ini, sehingga Holscher tidak membabi buta menampilkan banyak Jumpscare. Bagi saya Holscher sendiri sudah memberikan porsi yang pas untuk scene yang menyeramkan, siluet dari iblis yang muncul pun tidak lebay. Sangat jarang kita diperlihatkan secara gamblang sosok iblis yang meneror keluarga William ini, kita hanya diberikan sekelibat penampakannya saja atau sebagian wajah sang iblis, adapun scene yang menampilkan keseluruhan sang iblis namun scene tersebut tidak begitu lama, sehingga memberikan kesan misterius nan mengerikan. Aura misterius yang sangat kuat dalam film ini sendiri sudah berhasil membuat saya duduk setia tetap menonton, serta ditambah alurnya yang penuh misteri.

Holscher sebenarnya memiliki potensi yang cukup kuat untuk alur film ini, namun potensi yang ada dalam film ini nampaknya tidak ia keluarkan semaksimal mungkin. Banyak dialog yang membuat saya mengerutkan dahi –membuat bingung dan sedikit janggal juga kaku. Penceritaan dalam film ini pun seperti yang saya katakana tidak maksimal, karna banyak sekali yang harus digali lebih dalam, tentang masa lalu Lazarus serta desa –juga warganya, yang tidak tergali dengan cukup baik. Sehingga saya sendiri cukup kesulitan untuk menaruh empati pada warga desa yang diteror oleh Lazarus. Jika saja Holscher sedikit lebih jelas dalam menceritakan mengenai hubungan para warga dan Lazarus mungkin akan lebih baik. Tentunya jangan diceritakan semua karna akan merusak esensi dari tema film ini. Hubungan antara Mary dan Lazarus pun digambarkan dengan cukup baik meski tidak sepurna, namun pas untuk memberikan gambaran mengenai Lazarus. Untuk karakter lainnya pun sebenarnya bisa dibuat semenarik bagaimana Holscher menampilkan Lazarus, terlebih lagi karakter William dan Sarah –yang sebenarnya bisa mempunyai peran yang sama kuatnya dengan Mary, malah terlupakan. Saya sendiri sempat lupa dengan William dan Sarah, karna mereka tidak memiliki fondasi yang cukup kuat.

Misteri demi misteri yang kemudian terungkap pun disajikan dengan sangat baik, apalagi sinematografi yang ada dalam film ini bisa dibilang cukup memukau. Ritual akhir yang menjadi sebuah klimaks film ini pun ditampilkan dengan indahnya, apalagi scene ‘dunia lain’ Lazarus dan Mary yang tidak kalah indah dan uniknya. Pengambilan gambar dalam film ini pun mendukung atmosfer dan storyline yang disajikan film ini, sehingga berakhir dengan cukup memuaskan, special-effect yang ada dalam film ini pun tidak lebay dan secukupnya saja. Namun sayang, kembali lagi, dialognya cukup kaku dan membingungkan terkadang cukup menganggu. Selebihnya The Soul Collector menjadi sebuah tontonan yang cukup menghibur meskipun tidak sempurna.

Rating

60%

Komentar