Review: The Grudge (2020)



Mengingat sangat banyak remake film Ju-On, saya tidak menaruh harapan besar pada film ini. Karna saya sendiri cukup lelah dengan segala Remake, but hey film ini menjadi film horror pembuka di awal 2020. Disutradarai oleh Nicolas Pesce, yang dulu telah berhasil dan dipuji atas filmnya The Eyes of My Mother (2016), yang saya pribadi belum pernah tonton. Namun, melihat banyak kritik positif atas filmnya itu, saya sedikit menaruh harapan atas film The Grudge garapannya ini. Saya snediri melihat trailer singkat dari The Grudge ini, yang mana selalu lewat di sosial media, membuat saya tertarik karna menurut saya trailernya sendiri cukup mengerikan. Saya menaruh sediki ekspetasi yang tinggi pada film ini.

Berbeda dengan film pendahulunya, The Grudge kali ini mengikuti seorang polisi bernama Detective Muldoon (Andrea Riseborough ) mengungkap kasus beberapa kematian dan pembunuhan yang misterius, dan selalu merujuk pada rumah misterius dimana para korban dan pelakunya memiliki keterkaitan satu sama lain dengan rumah tersebut. Namun, siapa sangka rumah misterius tersebut ternyata menyimpan sebuah kutukan yang mematikan, dimana semua yang memasukinya akan dihantui oleh terror mengerikan nan mematikan.

Bagaimana jika film The Ring hadir tanpa Sadako? Akan hambar bukan? Dan membuta kita merasa asing dengan filmnya, karna tokoh ikonik yang seharusnya hadir malah tidak hadir. Ini yang saya rasakan saat saya tengah menonton film ini, Kayako yang seharusnya menakuti kita malah tidak hadir. Bisa sayang bilang bahwa Kayako hanya hadir beberapa kali, bisa saya hiung dengan jari pula. Selebihnya hanya hantu yang menurut saya tidak begitu mengerikan, tak semengerikan suara tulang dan suara yang keluar dari mulut Kayako. Toshio pun tak hadir di film ini, digantikan sesosok gadis kecil yang perawakannya tak jauh berbeda dari Samara/Sadako di film The Rings. Sadako/Samara ngapain nyasar ke The Grudge? Itulah yang saya pikirkan untuk pertama kali. Namun saya sendiri akhirnya tidak begitu keberatan dengan suguhan baru dari film ini. Mungkin sang sutradara ingin menuguhkan nuansa baru pada para penonton baru yang tidak mengikuti pendahulunya. Namun bagi yang mengikuti film pendahulunya, akan merasa tak jauh berbeda dari yang saya rasakan.

Alur film ini maju mundur, cukup unik, apalagi kali ini fokus pada polisi yang sedang menyelidiki kasus misterius. Dengan alur yang maju dan mundur akan semakin penasaran atas misteri yang hendak dikuaknya. Keterkaitan antara sang korban dengan rumah tersebut pun dibongkar dengan rasa penasaran,  flashback yang kerap kali muncul pun menjawab setiap pertanyaan yang saya punya pada korban dari rumah tersebut. Bahkan jarak tahun dari flashbacknya pun memberikan terror awal ini dibawa oleh siapa, mengapa dari Jepang bisa ke sana? apakah sang hantu bosan dengan nuansa Jepang? Namun sebenarnya pertanyaan ini pun sudah dijawab di awal film, dan bagi saya akan lebih baik jika ditaruh dimana saat Detective Muldoon mulai mencaritahu perihal kasus misterius ini. Namun, tetap saja kita akan merasa penasaran atas keterkaitan korban lainnya yang masih misterius. 

Berbagai keterkaitan yang tak sengaja terjalin antara rumah berhantu itu dengan para korban, menandakan bahwa kutukan ini tidaklah pandang bulu, menyerang siapapun yang memasuki rumah tersebut tanpa alasan apapun, dan mereka akan keluar dengan hidup yang kini berubah 180 derajat. Kesadisan kutukan yang tanpa pandang bulu ini untungnya tetap dipertahankan oleh film ini. Kita akan merasa untuk tidak menyepelekan kutukan yang hadir dalam film ini dan menjadikannya sebagai ancaman utama yang luar biasa berbahaya nan ganas. Atmosfer mencekam di film ini pun tidak pernah berakhir sedari awal sampai akhir. Detektif Muldoon yang merupakan sosok serius dan berusaha mati-matian untuk menjauhkan sang anak dari pekerjaannya agar tidak teringat kembali atas kematian sang ayah yang tak lama terjadi. Menjadikan film ini semakin dark, Detektif Muldoon yang kerap was-was menjadikan kita aware atas situasi yang tidak pernah aman tersebut. Namun sayang sekali, atmosfer yang telah dibangun menjadi semengerikan mungkin, diruntuhkan dengan cepat oleh Jumpscare yang sangat memekakan telinga. Meski beberapa Jumpscare terbilang efektif, namun tak bisa disangkal bahwa ada beberapa bahkan hampir seluruh  Jumpscare yang sebenarnya tak begitu diperlukan dan terkesan dipaksakan. 

Dengan ketidakhadirannya Kayako dan Toshio, mungkin sang sutradara memutar otak dan berpikir hantu apa yang akan menjadi menyeramkan dan tidak begitu asing bagi para penonton umum? Dan akhirnya dimunculkannya sosok hantu yang tidak jauh beda penampilannya dengan hantu di film horror modern lainnya. Entah mengapa saya malah sangat menginginkan sosok hantu layakanya Kayako atau Toshio, karna saya merasa akan lebih efektif menggunakan sosok hantu yang seperti itu. Namun, mungkin niatnya untuk menyesuaikan dengan tempat, karna tidak berlatar di Jepang maka sang hantu pun dirubah sedemikian rupa. Namun pada akhirnya kita tidak begitu ditakut-takuti oleh sosok hantunya, dan malah lebih serin dikejutkan oleh suaranya.

Beberapa scene yang sudah dibangun dengan ketegangan pun terkadang harus hancur akibat jumpscare yang tak begitu diperlukan. Meski beberapa karakter memang kerap disorot dan diceritakan asal mula mengapa mereka menjadi korban, namun saya sendiri tidak merasa simpati pada karakter tersebut, mungkin karna mereka tidak begitu memperlihatkan bagaimana mereka mencoba untuk menyadari bahwa mereka sedang dalam bahaya. Dan bahkan bagi saya, terror yang hadir mengantui mereka terlalu cepat dieksekusi dan tidak terbangun dengan rapih sehingga kita tidak diberi waktu untuk menaruh hati pada karakternya, ataukah memang karakternya ditulis untuk sangat sulit untuk dikasihani? Detektif Muldoon yang menjadi karakter utama pun terasa flat dan tidak berjiwa. Entah mengapa saya tidak merasakan sesuatu yang menarik dari karakternya itu, ia sangat kekurangan karisma sehingga saya sendiri tidak merasa tertarik dengan karakternya meski ia seorang karakter utama.

Saya sendiri merasa film ini tidaklah jauh dengan film horror remake gagal. Tidak ada nuansa baru yang dihasilkan. Mungkin sang sutradara sudah berusaha sedemikian rupa untuk menyuguhkan sesuatu yang baru, namun gagal total, mengingat hantu yang disuguhkan pun terlihat aneh bagi saya. Alur yang sebenarnya bisa menjaid lebih baik, malah jatuh sekali dan membuat film ini cukup membosankan bagi saya. Meski seharusnya misteri dalam film ini seharusnya membuat penoton penasaran, sangat disayangkan harus gagal. Saat  saya duduk diam menikmai film ini pun, yang terlintas dipikiran saya adalah “Ok, another The Conjuring wannabe” karna habis setiap elemen jumpscare pun tidak jauh beda dengan film-film horror barat yang kini sedang marak. Mengingat tidak ada suguhan baru dan beberapa kejanggalan dalam alurnya, membuat film ini gagal untuk membangun kemisteriusannya. Saya sendiri tidak memiliki memorable scene dari film ini kecuali credit scene di akhir film. Entah mengapa saya lebih mengakui bahwa credit scene itu lebih mengerikan dan creepy disbanding keseluruhan filmnya.

Saya sendiri sangat mengapresiasi gebrakan baru untuk film The Grudge, yang mana tidak mengikuti vibe originalnya. Namun sayang, gebrakan yang baru itu malah berubah menjadi gebrakan membosankan bagi pecinta film horror, karna tidak ada hal baru sama sekali. Tapi, mungkin bagi para pecinta film Ju-On, ini merupakan gebrakan baru, namun yang sangat mengecewakan. Alurnya yang seharusnya bisa menjadi menarik malah jatuh menjadi menggelikan dan kita sangat sulit menaruh hati pada karakternya. Banyak adegan yang patut dipertanyakan. Contohnya adegan ending saat mencoba memutus kutukan tersebut, dan pilihan sang karakter utama yang bagi saya sangatlah bodoh. Film ini tidak menakutkan, jika mengagetkan oh tentu saja. Buang jauh-jauh atmosfer gelap yang sudah dibangun, mari keraskan suara dan munculkan setannya seenak jidat.




Rating
30%

Komentar