Review: Incident in a Ghostland (2018)

 

Sebuah insiden mengerikan menimpa sebuah keluarga yang beranggotakan dua putri dan seorang ibu. Mereka diserang oleh orang-orang misterius yang mengancam nyawa mereka pada saat mereka baru saja pindah ke rumah yang diwariskan kepada keluarga tersebut. Penyerangan tersebut mengakibatkan sang kakak, Vera (Taylor Hickson) mengalami trauma parah. Beth (Emilia Jones) yang bermimpi untuk menjadi seorang penulis terkenal akhirnya memutuskan untuk pindah dari rumah tersebut, meninggalkan sang Ibu (Mylène Farmer) dan Vera di rumah tersebut. Enam belas tahun berlalu, Beth (Crystal Reed), yang kini sudah menjadi seorang penulis horor terkenal, terpaksa untuk kembali ke rumah lamanya saat mendapati telefon dari sang kakak, Vera (Anastasia Phillips). Namun siapa sangka reuni tersebut dipenuhi oleh hal-hal ganjil yang diluar akal, dan seiring berjalannya waktu keanehan demi keanehan mulai muncul.

Akhirnya saya memutuskan untuk menonton film ini setelah sudah tersimpan di laptop entah berapa lamanya. Tanpa menonton trailer atau memaca sinopsisnya, hanya dibekali rasa penasaran dan bosan akhirnya saya memutuskan untuk menonton film ini. Saya sendiri sebenarnya tidak memiliki ekspetasi apapun terhadap film ini, karna saya benar-benar menonton buta film ini, namun saya sendiri hanya berharap untuk tidak diecewakan film ini saat selesai.

Incident in a Ghostland yang memiliki karakter inti yang merupakan sebuah keluarga kecil membuat kita kembali menggali tema yang tak jauh dengan kehidupan kita sediri. Jika The Dark and The Wicked menampilkan kejadian-kejadian terror supranatural yang mengancam nyawa sebuah keluarga kecil, Incident in Ghostland pun mengambil topik yang serupa namun tak sama, mereka sama-sama menempatkan sebuah keluarga kecil pada ancaman yang mereka belum tentu bisa hadapi. The Dark and The Wicked sendiri memfokuskan pada terror tak kasat mata yang tak segan untuk mengambil nyawa mereka, sama mengerikannya dengan film Incident in Ghostland ini yang menampilkan ancaman nyata yang kita bisa lihat bagaimana sang penjahat tersebut membabi buta menyerang keluarga kecil ini.  Sebenarnya saya sendiri tidak ingin men-spoilerkan alur film ini, karna film ini tidak akan menjadi semengejutkan saat kalian menonton film ini dengan informasi yang minim. Maka saya sebisa mungkin untuk tidak  men-spoilerkan hal-hal penting dalam film ini dan tidak menceritakan alurnya lebih banyak.

Film ini sendiri dibuka layaknya film-film horror pada umumnya, sebuah keluarga yang pindah dan mereka terkena kejadian buruk. Namun bukanlah kejadian supranatural yang menimpa keluarga kecil ini, melainkan kejadian penyerangan oleh dua orang psikopat yang membuat mereka mengalami trauma mendalam. Dari sini kita bisa tau bahwa film ini tidak akan menjadi sebuah wahana penuh keceriaan untuk sang karakter utama, yaitu Beth. Kita dihadapkan pada Beth yang mencoba untuk lepas dari trauma mendalamnya akibat insiden mengerikan tersebut, yang pada akhirnya untuk memerangi trauma tersebut ia –yang sudah menjadi seorang penulis fiksi horror terkenal, memutuskan untuk menulis sebuah buku berjudul “Incident in a Ghostland” sebagai tribute atau penghormatan untuk keluarganya. Di sini kita diperlihatkan bahwa kini musuh utama Beth sendiri adalah rasa trauma atas kejadian mengerikan yang menimpa keluarga kecilnya itu, kita sudah diperlihatkan bahwa akan ada pergulatan Beth dengan rasa traumanya. Teerlihat pula bagaimana Beth yang mencoba untuk lari, namun ia tetap tak bisa lari dari kengerian tersebut. Saat ia sudah pada posisi yang menurutnya aman dan nyaman, ia kembali lagi ditarik ke dalam trauma tersebut lewat sebuah telefon yang memaksanya untuk kembali lagi terjun ke tempat dimana rasa traumanya berasal, yaitu rumah lamanya.

Awalnya saya berfikir bahwa film ini akan kembali dipenuhi oleh metafora demi metafora yang muncul, yang merupakan perwujudan dari rasa trauma keluarga kecil ini. Seperti halnya film Relic yang menjadikan Demensia sebagai musuh utama dan memperlihatkan metafora bagaimana mengerikannya demensia. Kemudian dalam The Babadook kita bisa melihat kengerian perwujudan metafora dari rasa duka yang mendalam, dan saat saya menonton film Incident in a Ghostland, saya menebak bahwa film ini akan juga membawakan sebuah metafora atas bentuk trauma. Saya sangat diyakinkan bahwa segala terror demi terror yang muncul dalam film ini adalah bentuk metafora dari rasa trauma yang menghantui keluarga ini. Paling terlihat dari bagaimana sikap Vera yang menggambarkan trauma mendalam yang ia miliki, sampai-sampai ia harus dikurung di dalam sebuah ruangan untuk menjaganya tetap aman. Namun tak haanya itu, trauma yang hadir di babak awal tidak hanya ditampilkan lewat sikap sang karakter, namun juga muncul secara fisik namun tak kasat mata. Seperti contohnya bagaimana Vera mendapati luka lebam dan ia terlihat diserang oleh sosok tak kasat mata. Tak hanya Vera, Beth pun ikut menjadi bulan-bulanan dari kekerasan fisik yang tak kasat mata tersebut, mengakibatkannya tak sadarkan diri. Kemudian babak pertama ditutup, dan dibuka dengan sebuah fakta mengejutkan bahwa terror tersebut tak sekedar Metafora semata.

Jika dalam babak pertama kalian mengira bahwa hal yang menimpa keluarga kecil itu tidak menjadi lebih buruk, maka anda salah. Pascal Laugier –selaku sutradara dan penulis naskah, akan meyakinkan anda bahwa kengerian yang menimpa keluarga Beth tidaklah berhenti sampai disitu. Kita diperlihatkan pada suatu kenyataan yang benar-benar mengerikan, lebih mengerikan dari bagaimana Vera dan Beth dihajar oleh representasi tak kasat mata dari rasa trauma mereka. Pascal Laugier sendiri tidaklah asing dengan film horror psikologi, ia lihai dalam mempermainkan perasaan penonton, membuat mereka mempercayai apa yang ingin mereka percayai lewat informasi demi informasi yang meyakinkan penonton bahwa informasi tersebut adalah ‘nyata’. Kemudian Pascal Laugier akan merobohkan kepercayaan tersebut lewat terror yang lebih mengerikan yang tentunya bisa membuat kita speechless. Seperti bagaimana ia memainkan perasaan para penonton pada film yang ia sutradarai sebelumnya Martyrs (2008), yang mana film tersebut diakui sebagai film penuh dengan kekerasan dan darah. Saya sendiri belum sempat menontonnya karna belum menemukan waktu yang tepat. 

Dilihat dari bagaimana orang-orang mendeskripsikan kegilaan pada film Martyrs (2008), saya rasa Incident in a Ghostland ini lebih ‘jinak’, kekerasan yang dimunculkan di film ini tidaklah sebrutal baagaimana orang mendeskripsikannya di film Martyrs. Saya akui, memang tidak banyak darah bercipratan di film ini. Sekali dua kali mungkin saja ada, namun tidak sampai bisa mandi darah. Film ini seperti lebih fokus dengan bagaimana Vera dan Beth berjuang menghadapi ancaman utama tersebut, yang mana mereka tentunya harus bekerja sama. Vera dan Beth sendiri digambarkan sebagai remaja yang tangguh, menghadapi ancaman yang mereka sendiri tidak mampu melawannya, namun mereka sekuat tenaga untuk berhasil kabur meskipun alhasil meeka dipenuhi oleh luka dan memar yang parah.

Babak kedua dari film ini sendirilah yang menjadi sebuah plot twist terbesar film ini, yang hampir membuat saya menghentikan filmnya terlebih dahulu untuk memproses alur yang baru saja saya terima itu. Sebegitu mengejutkannya saya mungkin tidak akan spoiler di sini, karna jika saya menceritakannya maka film ini terasa kurang. Namun saya akui unsur psikologi dalam film ini sangatlah kental, perasaan kita dibuat campur aduk melihat perjuangan keluarga kecil itu lepas dari terror mengerikan.  Pascal Laugier pun piawai dalam menarik ulur harapan kita, seperti saat Vera dan Beth hendak lepas dari genggaman terror siaalan itu, tiba-tiba semua harapan runtuh dan begitu terus berulang-ulang. Namun repetasi tersebut tidak menjadikan film ini sebagai tontonan yang hambar, karna perjuangan mereka pun tidaklah monoton. Ditambah lagi dengan atmosfer  yang benar-benar gelap dan mencekam, disertai oleh scoring yang tak kalah menegangkannya, membuat kita menanti bagaimana usaha keluarga kecil ini lepas dari genggaman terror tersebut. 

Pascal Laugier sendiri memastikan agar kita tidak diberi ruang untuk bernafas, terlebih lagi, dengan pace yang cepat Laughier benar-benar tidak memberikan penonton untuk memproses apa yang benar-benar terjadi, karna pada babak dua kita akan dicekoki oleh ketegangan perjuangan keluarga kecil ini untuk tetap hidup dan lari dari rumah itu beserta dengan plot twist yang hadir. Akting dari Taylor Hickson dan Emilia Jones sebagai Vera dan Beth pun sangatlah apik, mereka mampu menjadi duo yang ta terpisahkan dan saling membantu satu sama lain meskipun nyawa mereka berada diujung tanduk. Taylor Hickson dan Emilia Jones pun mampu untuk membuat para penonton mersakan apa yang mereka rasakan, penyiksaan secara fisik dan mental yang mereka dapati, sehingga saya sendiri merasa sangat iba dengan mereka. Bagaimana mereka berusaha untuk berjuang mati-matian mengatasi rasa trauma tersebut dan melawan, digambarkan dengan sangat baik. Kita bisa merasakan betapa sulitnya perjuangan mereka ini.

Pada akhirnya Incident in a Ghostland merupakan sebuah wahana penuh dengan kebrutalan, kengerian, trauma dan plot twist yang membuat kita menaruh simpati pada keluarga kecil yang dihadapkan pada terror yang mereka sendiri tak mampu hadapi. Terlebih lagi duo psikopat yang meneror keluarga Beth ini memiliki motif yang tidak terlalu masuk diakal, membuat ancaman yang hadir dirasa lebih berbahaya dan besar. Film ini pun tidak akan ada jedanya, kita akan dihadapkan terus menerus oleh terror tersebut yang menyiksa keluarga kecil ini, sehingga kita sendiri sangat sangat berharap mereka mendapatkan akhir yang bahagia. Pascal Laugier sangatlah berhasil untuk memainkan emosi para penonton dengan film horror psikologinya ini.

Rating

 90%

Komentar