Review: True Fiction (2019)

 

 

Avery (Sara Garcia) merupakan seorang penulis muda yang melamar kerja menjadi asisten dari idolanya yaitu Caleb Conrad (John Cassini) –yang merupakan seorang penulis terkenal. Avery yang sangat mengidolakan Caleb Conrad sangat bersungguh-sungguh ingin bekerja bersamanya, impiannya pun menjadi kenyataan. Avery pun bekerja di rumah milik Caleb Conrad di tempat terpencil. Namun pekerjaannya menjadi mimpi buruknya kala dirinya dijadikan kelinci percobaan oleh Caleb Conrad demi menyelesaikan bukunya.

Saya sendiri menonton film ini tanpa melihat rating di IMDB, maupun sinopsisnya. Bisa dikatakan saya menonton buta film ini, karena saya sendiri tidak tau apa-apa mengenai film ini. Sehingga, saya sendiri tidak memiliki ekspetasi apapun terhadap film ini, saya sendiri hanya berharap film ini tidak jelek dan menyianyiakan waktu saya. Namun, seusai saya menonton film ini, mendapati bahwa film in memiliki rating yang cuku rendah di IMDB merupakan suatu kejutan bagi saya.

Film garapan Braden Croft ini memiliki premis yang cukup menarik, seorang fans yang mendapati dirinya dijadikan kelinci percobaan oleh idolanya sendiri. Biasanya di film horror maupun Thriller, saya kerap mendapati para fans nya lah yang menjadi sosok jahat, dan sang idolanya yang dikejar-kejar oleh fans tersebut. Namun nampaknya Branden Croft kali ini memutar balikan hal tersebut, menjadikan sang  fans sebagai korban dan idolanya yang menggunakan rasa cinta fans tersebut sebagai alat untuk mendapatkan apa yang dia mau. Braden Croft sendiiri tidak serta merta menaruh premis tersebut secara gamblang sehingga para penonton bisa menelan mentah-mentah premis tersebut tanpa mencerna apapun, Braden Croft memastikan premis tersebut akan ia putar-putar dan ia jadikan sesuatu yang membuat penonton menebak-nebak apa yang ingin terjadi.

Kita sendiri sejak awal sudah diperkenalkan pada Avery dan melihat bagaimana kecintaan dia terhadap Caleb Conrad yang merupakan seorang penulis terkenal, bahkan dalam interview kerjanya, kita akan mendapati Avery yang rela melakukan apa saja demi bisa bekerja disamping Caleb Conrad, dan obsesinya tersebutlah yang menenggelamkannya ke dalam labirin yang memusingkan. Saya sendiri mengakui bahwa film ini adalah film yang cukup memusingkan namun juga membuat saya sangat semangat untuk menebak-nebak apa yang akan terjadi dan sebenarnya terjadi. Kita akan mengikuti bagaimana Avery dijadikaan kelinci percobaan oleh Caleb Conrad demi menuntaskan novel yang tengah ia tulis. Awalnya kita akan melihat bagaimana ‘normal’ nya eksperimen yang Caleb Conrad lakukan, namun lama-kelamaan kita akan melihat bagaimana dampak psikologinya terhadap Avery yang mana ia mulai tak tau mana yang nyata dan tidak. Tak hanya berdampak pada Avery, penonton yang sedari awal mengikuti Avery pun akan kebingungaan membedakan mana yang nyata dan tidak, bahkan kita juga tidak tau sebenarnya siapa yang jahat. 

Braden Croft dengan narasinya pun berhasil untuk memainkan pikiran para penonton dengan sosok Avery yang sudah kita kenal sejak film ini dimulai. Rasa cinta Avery terhadap Caleb Conrad pun bermain peran dalam misteri dan manipulasi yang hadir dalam film ini. Mungkin bisa dikatakan, cinta memang membutakan orang, dan hal tersebut terjadi pada Avery yang dibutakan juga oleh rasa cintanya. Konflik batin yang Avery rasakan pun dengan indahnya digambarkan dalam film ini, dan konflik Avery dengan dirinya sendiri pun menjadi peran besar dalam film ini dan tentunya menjadi sebuah senjata utama untuk ikut memainkan psikologi para penontonnya juga.

Dengan sinematografi dari Ian Lister yang ikut membantu dalam memanipulasi para penonton, membuat film ini semakin penuh dengan misteri dan ketegangan, terlebih lagi saat Avery mulai semakin kebingungan dan tidak tau apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya dan sekelilingnya. Kegilaan yang dirasakan oleh Avery tersebut bisa direalisasikan dengan cukup bagus dalam film ini, sehingga kita ikut merasakan apa yang Avery rasakan. Misteri demi misteri pun terungkap dan akhirnya kita menyadari apa yang sebenarnya terjadi, namun apakah itu benar terjadi ataukah memang hanya terjadi dalam pikiran Avery saja? Dengan alur yang sudah mengkaburkan antara yang nyata dan fantasi, sinematografinya pun ikut berperan kuat dalam hal pengkaburan tersebut. Sehingga layaknya Avery, kita akan kesulitan menemukan mana yang nyata dan fantasi. Tidak terlalu banyak Jumpscare yang hadir dalam film ini, sehingga bagi saya adalah poin plus karena terkadang jumpscare yang terlalu sering hadir akan merusak ketegangan dalam film ataupun merusak misterinya.

Dengan alur yang penuh misteri layaknya kita menonton dalam kegelapan, karna kita sendiri memang tidak tau apa yang terjadi, dan secara mendalam kita tidak begitu mengenal karakter tersebut. Kita hanya tau 'okay dia Avery' 'okay dia Caleb Conrad' namun dengan minimnya informasi mengenai karakter yang ada dalam film ini membuat film ini semakin menegangkan, terlebih lagi saat kita dihadapkan dengan berbagai twist yang efektif. Chemistry yang dihadirkan antara Avery dan idolanya pun sangatlah kuat, kita bisa melihat betapa percayanya Avery terhadap Caleb Conrad, betapa polosnya Avery, dan kita juga bisa melihat Caleb Conrad yang nampak sebagai sosok kalem dan cukup bisa dipercaya. Terlebih lagi dengan pembawaan Caleb Conrad yang diperankan John Cassini, akan sangat sulit jika kita langsung menuduh dari awal bahwa dia adalah orang yang bersalah. Meskipun begitu Caleb Conrad memang ditampilkan sebagai sosok dengan topeng yang kita tak ketahui motif sebenarnya, sehingga kita harus menunggu sampai akhir untuk mengetahui apa sebenarnya motifnya. Kemudian kita juga melihat Avery yang memang mudah gelisah dan paranoid, membuat kita merasa sedikit sulit untuk mempercayai Avery, yang mana pada akhirnya kita akan mengalami kesulitan untuk memercayai Caleb ataupun Avery. Beruntungnya segala misteri yang hadir dalam film inipun terbangun dengan baik, sehingga membuat saya mampu duduk dan menonton film ini dengan tenang.

Dengan berbagai keunggulan dari film ini, tentunya saya juga mendapatkan beberapa kelemahan. Saya sendiri sangat menyadari bahwa film ini merupakan horror-psikologi, dimana akan bermain-main dengan pikiran kita sebagai penonton. Saya pun mengakui bahwa hal tersebut memang benar disalurkan oleh film ini, kita akan dibuat bingung dan menebak-nebak apa yang akan terjadi. Namun, yang menjadi sebuah kelemahan terbesar adalah pace dan cut dari film ini. Pace film ini sendiri memang terbilang cukup cepat, segalanya terjadi dengan cukup cepat sehingga waktu untuk memproses beberapa informasi akan sedikit terburu-buru, awalnnya hal tersebut masihlah saya maklumi. Namun kemudian ditambah dengan pemotongan scene yang cukup membuat bingung, bahkan saya sendiri sangat-sangat kewalahan untuk mendapatkan setting waktu dalam film ini, bahkan saya tidak tau apakah hal itu mimpi atau apa. Pemotongan scene yang kemudian disambung lagi dengan scene selanjutnya terasa janggal dan out of nowhere, bahkan ada scene dimana Avery tengah melakukan ekperimen dengan Caleb yang kemudian berpindah ke scene yang berbeda. Hal tersebut membuat saya sebagai penonton kehilangan pegangan terhadap film ini.

Kemudian, film ini memang cukup kuat dalam babak awal hingga pertengahan, namun saat sudah sampai pada babak pertengahan menuju akhir film ini nampak kehilangan arah. Semuanya terjadi dalam satu waktu yang berdekatan dan seperti ditambah-tambah demi menaikkan tensi, namun yang ada malah berantakan. Sehingga horror-psikologi yang memang seharusnya memusingkan membuat kita menebak-nebak apa yang akan terjadi dengan segala mister yang ada, malah berakhir dengan ketidakjelasan banyak hal. Bahkan saya sendiri sangat menyayangi babak akhir yang sangat lemah ini, karena bagi saya sendiri hal tersebut malah membuat alurnya berantakan dan benar-benar janggal. Kemudian endingnya pun tidak begitu memuaskan dan tidak menggebrak setelah hal gila yang terjadi pada Avery itu. Bahkan endingnya sendiri nampak sebagai anti-klimaks setelah banyak kegilaan dan tensi yang terus menerus hadir dalam film ini. Namun, saya sendiri sangat mengakui bahwa twist dalam film ini sangatlah bagus, setelah dipermainkan sejak awal emngenai mana yang benar dan salah, baik dan buruk, kita akan mendapatkan berbagai twist yang cukup mengejutkan.

Pada akhirnya True Fiction memanglah sebuah tontonan menyegarkan bagi saya dan kalian yang mencintai genre horror-psikologi dengan sentuhan thriller juga. Kita akan dihadapkan pada kegilaan yang dialami oleh Avery. Saya sendiri sangat menyukai bagaimana sang sutradara bermain dengan alur dalam film ini, sehingga kita merasakan apa yang dirasakan oleh Avery. Segala kegilaan dan kebingungan yang dirasakan oleh Avery benar-benar dipancarkan dengan cukup baik. Namun sayang sekali pada babak akhir, Braden Croft selaku sutradara nampaknya berniat untuk menambah kegilaan dalam film garapannya ini, namun berakhir menjadi sebuah bencana mengerikan penuh dengan kejanggalan, diakhiri dengan ending yang anti-klimaks pula, membuat film ini sangat gagal unuk memaksimalkan klimaksnya. Namun, secara keseluruhan saya sangat enjoy menonton film ini, ditambah lagi dengan berbagai macam misteri yang memang cukup bermain peran dalam otak kita, membuat kita bertanya-tanya atas apa yang sebenarnya terjadi, dan saya rasa film ini tidak seburuk rating yang IMDB beri, bahkan seharusnya lebih tinggi karna film ini sendiri tidak jelek. Sebuah wahana yang cukup aneh namun indah mugkin adalah sebuah gambaran yang bisa saya katakan untuk True Fiction. Burn your idol!

Rating

60%



Komentar