Review: The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021)

 


Menceritakan mengenai kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Arne Cheyenne Johnson (Ruairi O'Connor), yang mana ia memberikan pengakuan bahwa ia tengah dirasuki saat melakukan pembunuhan tersebut. Yang mana membuat pasangan Lorraine Warren (Vera Farmiga) dan Ed Warren (Patrick Wilson), untuk ikut menginvestigasi kasus ini. Namun, yang mereka  temukan ternyata jauh lebih mengerikan dari yang mereka duga.

Saya sendiri sangat menanti film ke tiga dari The Conjuring series ini, meskipun saya sendiri tidak menaruh reviewnya dalam blog saya. Namun, saya akan mengakui bahwa film The Conjuring pertama sangatlah bagus dan yang kedua lumayan bagus, dan akhirnya munculah film ketiga ini yang membuat satu pertanyaan yaitu; akankah film ini sebagus pedahulunya? Terlebih lagi kali ini James Wan tidak duduk di kursi sutradara, digantikan oleh Michael Chaves dan naskah dari David Leslie Johnson-McGoldrick, sedangkan James Wan hanya menyumbangkan ‘story’.

Film ini sendiri dibuka dengan adegan kerasukan dan pengusiran setan dari David Glatzel (Julian Hilliard) yang mana akan menjadi awal mulanya malapetka yang menimpa Arne. Saya sendiri mengakui bahwa film ketiga dari The Conjuring ini memiliki adegan pembuka yang menyeramkan dan menegangkan, sehingga menjadi sebuah pembuka yang kuat untuk keseluruhan film ini. Namun bagi saya menjadi awal mula bagaimana tingkat keseraman pada film ini turun juga. Saya sendiri mungkin akan menuliskan reviw kali ini tidak terlalu panjang untuk menghindari spoiler.

Terror yang hadir dalam film ini bisa dikatakan adalah yang paling lemah di antara film Conjuring lainnya, saya sendiri sudah terbiasa dengan film-film pendahulunya yang mana ‘memperkenalkan’ kita terhadap terror-terror yang dihadapi oleh sang korbannya. Seperti di film pertama dan kedua, kita akan diperlihatkan betapa menakutkannya hantu atau iblis yang menganggu hidup mereka, tentunya dengan beragam jumpscare yang efektif. Pada Film ketiga ini diberi premis sebagai ‘kasus terseram atau paling berbahaya yang pernah Ed dan Lorraine Warren hadapi’ membuat kita sendiri penasaran seberapa berbahaya dan mengerikannyakah kasus yang pasangan tersebut hadapi kali ini. Namun alih-alih benar-benar menunjukkan terror yang berbahaya, ternyata hal tersebut hanyalah hiperbola semata.

Seperti yang saya katakan di atas, saya sendiri sangat mengakui bahwa pembuka dan babak awal dari film ini sangatlah kuat. Bahkan pembangunan dari terrornya pun dibuat sebaik mungkin, sehingga saat ada jumpscare yan muncul atau adegan pengusiran iblisnya bekerja dengan maksimal. Hal tersebut berhasil dieksekusi dengan hasil pembuka dan babak awal yang menarik perhatian para penonton dan meyakinkan mereka bahwa itu hanyalah permulaan. Namun permulaan tersebbut bergulir menuruni jurang. Seiring durasi berjalan dan kita mendapati Arne yang diadili di pengadilan, dari situlah pasangan Warren ini mulai menyelidiki mengenai kebenaran dari kerasukan yang dialami oleh Arne. 

Saya sendiri berharap bahwa film ini akan menghadirkan horror dalam  pengadilan itu sendiri, akan lebih menarik dan menakutkan. Namun, alih-alih fokus pada mencari kebenaran dan pembuktian mengenai kerasukan yang menimpa Arne, film ini berbelok dan kehilangan arah. Membuat tujuan awal yang mana membuktika kerasukan Arne adalah benar, malah berbelok ke mengalahkan kejahatan supranatural. Saya sendiri kecewa dengan pecahnya fokus dalam film ini, karena pada pertengahan menuju akhir, kita dibuat lupa akan Arne, padahal cerita ini seharusnya berfokus pada Arne karna sedari awal kita memang diperkenalkan kepada keluarga Glatzel dan Arne pada pembuka. Saat mereka mulai mengulik mengenai alasan mengapa Arne bisa kerasukan malah melupakan Arne dan dirinya yang tengah menghadapi pengadilan. Pemecahan fokus ini membuat terror yang hadir dalam film ini tidak utuh dan tidak seseram/kuat sebelumnya, pemecahan fokus ini sebenarnya bisa menjadi baik jika saja memiliki fondasi yang cukup kuat. Namun syaang, pemecahan fokus ini nampak terlalu terburu-buru, sehingga terasa seperti banyak hal yang terjadi dalam satu waktu.

Jumpscare yang hadir dalam film ini sebenarnya terbilang cukup baik dan cukup efektif. Namun,penggunaan cahaya yang terkadang sangat gelap sehingga saya tidak bisa melihat apa-apa membuat jumpscarenya mlempem, bahkan saya sendiri tidak terlonjak kaget. Entah mengapa cahaya dalam film ini lebih gelap dari film pendahulunya, sehingga saya sendiri kesulitan untuk menikmati film ini, bahkan hantunya pun tidak terihat yang ana seharusnya menjadi senjata utama dalam urusan jumpscare. Namun pembangunan jumpscarenya pun bisa terbilang bagus dengan scoring yang memumpuni, nmun sangat disayangkan beberapa jumpscarenya hadir dalam pencahayaan yang cukup gelap sehingga tidak bekerja semaksimal mungkin.

Klimaks dari film ini pun tidak sememorable film pendahulunya dan bagaimana mereka mengalahkan dalang dibalik semua ini pun terbilang cukup klise, kembali menggunakan romansa Ed dan Lorraine, namun kali ini entah mengapa romansa mereka terlihat terlalu dipaksakan. Terlebih lagi pada babak klimaks dan bagaimana psangan tersebut mengalahkan yang jahat pun terkesan tidak mengalir dengan natural. Terlebih lagi karena sedari babak pertengahan film ini fokusnya terpecah, membuat kita tidak begitu terikat secara emosional pada kejadian demi kejadian yang ada dalam film ini. Tidak seperti pendahulunya, film ini tidak membuat kita terikat pada sang korban dari kejahatan supranaturalnya, telebih lagi kita  tidak begitu terikt pada Arne yang mana ialah korban utamanya.

Namun secara keseluruhan , The Conjuring The Devil Made Me Do It ini memiliki cerita yang cukup baik, pembangunan tensi atau ketegangannya pun cukup baik sehingga membuat kita sebagai penonton penasaran dengan apa yang terjadi. Namun sayang fokus yang terpecah dan beberapa jumpscare yang gagal ini menjadi kelemahan terbesar dari film ini. Terror yang dibangunpun tidak matang, tiada scene atau jumpscare yang memorable dalam film ini. Membuat film ini sebagai installment terlemah dari The Conjuring pertama dan kedua.

 

Rating


55%

Komentar