Review: The Unholy (2021)

 

Gerry Fenn (Jeffrey Dean Morgan), merupakan seorang jurnalis kontroversial yang rela memalsukan sebuah berita demi ketenaran semata, sedang melakukan investigasi di sebuah kota kecil di New England yang mana ia mendapati sebuah fenomena yang cukup mengejutkan. Alice (Cricket Brown), yang merupaka seorang tunarungu tiba-tiba kembali bisa mendengar dan berbicara setelah ia mengakui bahwa telah didatangi oleh sang Virgin Mary atau Bunda Maria. Dengan mukzizatnya yang ia miliki, Alice menyebuhkan penyakit orang-orang yang meminta pertolongannya. Namun, siapa sangka dengan datangnya Mukzizat yang dimiliki Alice, datang juga malapetaka yang tak segan untuk menghabisi nyawa siapapun yang mencoba mengganggu. Apakah benar Mukzizat yang Alice miliki berasal dari Bunda Maria atau sesuatu yang berbahaya?

Saat trailer film ini keluar, saya langsung memasukkannya ke dalam daftar watchlist dan sangat menanti-nanti di bioskop. Karna, premis dari film ini cukup menjanjikan dan bagus, bayangkan, seorang gadis yang diyakini memiliki mukzizat dari Bunda Maria, namun bisa jadi hal tersebut bukanlah dari Bunda Maria bisa jadi dari sebuah entitas jahat lainnya. Cukup menarik dan pada saat itu saya cukup yakin bahwa film ini sudah memiliki premis yang sangat bagus dan mungkin penuh misteri, seperti film horror supranatural lainnya –tentunya film ini diberi bumbu misteri pada premisnya. Terlebih lagi, pada film ini kita mengikuti seorang Jurnalis dalam mengunggkap dan memberitakan kejadian mengejutkan yang menimpa Alice yang tiba-tiba bisa kembali bicara dan mendengar, tak hanya itu, ia juga mampu untuk menyembuhkan orang-orang.

Sejak awal film ini mulai, kita sudah diberikan beberapa petunjuk bahwa akan ada hal mengerikan yang terjadi pada kota kecil tersebut, kemudian Alice mendapatkan sebuah mukzizat secara misterius. Sudah bisa terlihat bahwa kitaa akan mengikuti bagaimana Gerry melihat kengerian dibalik mukzizat yang dimiliki oleh Alice. Terlebih lagi, unsure religi di dalam film ini cukup kental, dan bagaimana Alice menggiring orang-orang untuk mempercayai mukzizat dan Bunda Maria yang ia temui cukuplah membuat merinding. Sangat terasa bahwa ada sesuatu yang sangat tidak beres dengan Alice. Namun, dibalik kejanggalan ini Gerry sendiri mencoba untuk berfikir positif dan terus menginvestigasi kejadian ini dan memberitakannya, terlebih lagi Alice hanya ingin berbicara dengan Gerry, yang mana tentunya kita akan selalu mengikuti Gerry yang perlahan demi perlahan menemui kejanggalan pada kejadian ini.

Gerry yang diperankan oleh Jeffrey Dean Morgan, tampil dengan sosok yang awalnya nampak sombong dan pemabuk, namun lama kelamaan ia berubah menjadi pribadi yang lebih baik akibat kehadiran sosok Alice ini. Dari mata Gerry, Alice bukanlah sekedar anak ‘ajaib’ yang sembarangan, Gerry sendiri nampak skeptis akan mukzizat yang dimiliki Alice ini, namun ia mencoba untuk menemui sisi terang dibalik mukzizat ini dan mencoba untuk melakukan hal yang baik, yaitu memberitakan mukzizat ini dengan jujur. Tentunya, kehadiran Alice dengan mukzizatnya ini tidak hanya menyembuhkan orang-orang berpenyakit, namun nampak untuk mengubah Gerry menjadi sosok yang lebih baik. Kita digiring lewat apa yang Gerry teui, percaya bahwa Alice adalah sosok yang baik hati, dan mukzizatnya pun tidak membawa keburukan atau kejahatan, untuk sementara waktu kita diberikan gambaran mengenai sosok Alice seperti itu lewat sudut pandang Gerry.


 

Evan Spiliotopoulos selaku sutradara sekaligus penulis naskah, sudah menandai sejak awal bahwa siapapun yang membantu Alice dan memberikannya mukzizat bukanlah hal baik. Dengan rating PG-13, saya sendiri merasa sangat pesimis dengan film ini. Mengingat saya sendiri belum menemukan film dengan rating PG-13 akhir-akhir ini, seringkali saya cukup dikecewakan dengan film horror ber-rating PG-13. Meskipun beberapa film dengan rating PG-13 terbukti dieksekusi dengan baik, seperti film Mama, Happy Death Day, dan Scary Stories to Tell in the Dark. Namun meskipun saya merasa pesimis, saya mencoba untuk seoptimis mungkin dan berharap film ini akan dieksekusi dengan baik oleh Evan Spiliotopoulos, karna memiliki premis yang sangat menarik dan bagus.

Terlihat sedari awal, kita diberikan pace yang cukup cepat namun masih bisa diikuti dengan cukup mudah, karna penceritaannya pun tidak begitu rumit. Kita langsung di giring menemui Alice dan melihat keajaiban dari mukzizat miliknya. Dari awal durasi hingga kita diperkenalkan pada mukzizat milik Alice, saya merasa bahwa film ini tidaklah buruk. Karna penegnala konfliknya pun dengan cukup sederhana, sehingga orang-orang tidak akan merasa kebingungan. Namun, saat kita dihadapkan pada akar konfliknya, dimana terbuka sudah bahwa apapun atau siapapun itu yang membantu Alice dan memberikannya mukizat bukanlah sosok yang baik, semuanya runtuh.

Apa yang Evan Spiliotopoulos lakukan untuk membangun misteri demi misteri dalam film ini terlihat sangatlah terburu-buru, padahal film ini sendiri memiliki pembuka yang bagus untuk kita ‘berkenalan’ dengan misteri utama dalam film ini. Namun saat kita melihat bagaimana Evan Spiliotopoulos membangun misteri tersebut menjadi sesuatu yang mengerikan dan berniat untuk mengungkapnta perlahan demi perlahan, layaknya film horror lainnya, Evan Spiliotopoulos seperti tidak tau apa yang harus ia lakukan. Ia terkesan terburu-buru, sehingga kita seperti sedang dibacakan sebuah buku dengan kecepatan cahaya. Bahkan, pengembangan karakternya pun cukup berantakan. Memang Gerry sendiri terlihat pesimis dengan Alice yang tiba-tiba saja mendapat mukzizat, namun ia berakhir membantu untuk memberikatan keajaiban yang dialami Alice ini, kemudian dipertengahan ia menjadi sangat yakin bahwa ada sosok jahat yang membuat Alice menjadi gadis ajaib.

Mengapa perkembangan karakter di film ini begitu buruk? Saya sendiri merasa ini karna penampakan-penampakan yang nampak seperti terlalu dipaksakan. Terlalu banyak penampakan yang seperti tidak tepat waktu dan membuat penonton dipaksa kaget dengan scoring jumpscare yang sangat keras. Evan Spiliotopoulos seperti lupa akan bagaimana membangun ketegangan lewat atmosfer, sehingga hampir semua jumpscare di film ini terasa dipaksakan. Penampakan-penampakan ini pun snagat berperan dengan pengembangan karakter Gerry, namun karna penampakan di film ini sangatlah buruk, pengembangan karakter Gerry pun tidak begitu terasa ‘Wow’ dan seperti tidak berlandaskan.

Bicara soal penampakan, sangat banyak CGI yang dipakai di film ini, dan hal itu sangatlah menganggu. Saya sendiri sebenarnya tidak begitu masalah dengan CGI di film horror, namun jika hal tersebut terlalu sering dipakai dan bahkan menurut saya ada beberapa hal yang nampaknya bisa memakai practical effect ketimbang CGI. Api pun memakai CGI, bahkan asap-asap juga, bukannya bagus malah membuat saya tertawa. Jangan lupa bagaimana sosok Bunda Maria muncul di sini, membuat saya harus menahan tawa di bioskop.

Seperti yang saya katakana sebelumnya, film ini nampak terburu-buru, bahkann hampir diseluruh aspeknya. Entah mengapa saat film ini mencapai klimaks, saya tidak merasakan bahwa itu adalah klimaks dari filmnya. Karna bagaimana film ini dibangun sangatlah hampa dan terburu-buru, saat babak kedua dimana semuanya mulai terkuak. Sang pastur menemukan  beberapa petunjuk mengenai apa yang merasuki Alice, sebenarnya hal tersebut cukup baik. Namun, karna kita mengikuti jejak Gerry, kita tidak merasakan bahwa Gerry melakukan banyak hal untuk mencari tau mengenai misteri ini, bahkan ia menemukan petunjuk lewat penampakan random yang tak segan sampai menampakkan wajahnya tepat di depan kamera, tak lupa dengan suara yang memekakan telinga. Sehingga saat Gerry mencoba memecahkan misteri ini, semuanya terasa terburu-buru, karna penokohan Gerry seperti tiba-tiba dibalik 180 derajat, dimana Gerry yang sangat percaya pada Alice, kemudian menjadi tidak percaya.

Pada akhirnya The Unholy menjadi sebuah film yang memilii premis dan cerita yang menjanjikan dan sangat bagus, namun pengeksekusiannya sangatlah buruk. Bahkan saya sangat menyayangkan eksekusi dari sang sutradara yang berakhir menjadi malapetaka dari premis yang sangat indah ini. Padahal saya yakin film ini bisa menjadi sangat bagus, jika diarahkan dengan tepat. Segalanya terasa terburu-buru, misterinya yang seharusnya menjadi unsur utama dari film ini pun terasa hambar, penampakannya CGI dan terkesan dipaksakan (jangan lupa dengan scoring yang buruk). Sehingga pada klimaksnya tidak terasa spesial, bahkan endingnya pun terasa seperti film-film fantasi –penuh keajaiban.

Rating


40%

Komentar