Review: Phobias (2021)

 

Lima orang pasien yang mengidap phobia yang berbeda-beda, terkurung di sebuah instansi yang disebut sebagai Outpost 37. Lima Pasien tersebut adalah, Johnny (Leonardo Nam), Sami (Hana Mae Lee), Emma (Lauren Miller Rogen), Alma (Martina Garcia) dan Renee (Macy Gray). Kelima pasien tersebut memiliki kisah kelam yang mendasari mengapa Phobia tersebut bisa terjadi pada diri mereka masing-masing. Namun tak hanya mereka harus menghadapi phobia mereka, Instansi tersebut juga menyimpan sebuah rahasia dan ekperimen kejam yang dilakukan terhadap mereka.

Sebenarnya saya sendiri tidak ada niatan untuk menonton film ini, bahkan saya sendiri tidak tau apapun mengenai film ini. Kemudian saat hendak menonton aya putuskan untuk melihatnya d situ IMDB. Ternyata, film ini memiliki rating yang cukup buruk, 3.8 /10. Saya langsung pesimis saat itu, namun saya sendiri kembali mencoba untuk optimis dan berfikir ‘seburuk apakah film ini sampai-sampai mendapatkan rating yang kecil seperti itu?’. Akhirnya tanpa basa-basi sendiri saya langsung menontonnya.

Film ini sendiri merupakan sebuah film horror antologi, yang mana sudah lama sekali saya tidak melihat film seperti ini. Terakhir kali saya melihat film horror antologi adalah saat saya masih di bangku SMA, dan film tersebut adalah ABC’s of Death. Saya sendiri sebenarnya cukup menyukai film horror antologi, karna selalu penasaran pada setiap segmen yang ada di filmnya. Berhubung film ini pun terbagi menjadi lima segmen dan dengan sutradara yang berbeda, saya sendiri cukup penasaran bagaimana film ini akan berjalan. Terlebih lagi, seluruh karakter utama di film ini memiliki masalah yang sama, yaitu berkaitan dengan phobia mereka sendiri. Membuat saya semakin penasaran bagaimana film ini akan menggabungkan lima segmen dalam satu film, dan membuatnya tidak canggung.

Film ini sendiri dibuka oleh Segmen Robophobia, yang disutrdarai oleh Joe Sill, yang menceritakan Johnny, seorang pria yang gemar dan mahir bermain dengan alat elektronik, seperti computer dan sebagainya, dan juga ia harus merawat sang Ayah yang sakit keras. Namun, kehidupan Johnny tidaklah mudah, ia kerap kali dirundung dan dipukuli oleh beberapa orang yang rasis. Namun, semuanya berubah saat ia bertemu dengan sosok AI misterius yang berkata bahwa ia akan membantu hidup Johnny dan merubahnya menjadi lebih baik, asalkan Johnny ingin berteman dengan AI tersebut. Namun tentu saja semuanya tidak berjalan dengan mulus saat AI tersebut berada diluar kendali Johnny dan membunuh orang-orang yang menurutnya berbahaya.

Segmen Robophobia sendiri sedikit mengingatkan saya pada serial Black Mirror, dimana teknologi akhirnya tidak dapat dikendalikan dan akhirnya mengendalikan kehidupan manusia. Hal inilah yang terjadi pada Johnny, yang mana AI tersebut tampak baik dan memang membantu kehidupan Johnny, denga cara menghabisi siapapun yang menganggu Johnny, namun akhirnya berbalik menyerang dan mengganggu kehidupan Johnny. Segmen pembuka ini sendiri sebenarnya bisa saya katakana sebuah segmen yang cukup menarik dan memang mampu membuat saya terpaku untuk terus menerus menonton film ini, dan melihat bagaimana Segmen selanjutnya berjalan. Saya sendiri akui bahwa segmen Robophobia ini benar-benar memberikan sebuah ketegangan dan kengerian yang cukup bagus. Dengan tema yang dibawakan pun cukup abstrak dan ancamannya sendiri tidak terlalu jelas, mengapa AI ini bisa ada dan lain-lain. Namun semuanya itu hany menambah unsur horror dalam segmen Robophobia ini, dengan menghadirkan terror yang jelas namun abstrak. Bahkan bagaimana AI tersebut membunuh orang-orang yang menurutnya jahat pun dengan cara yang cukup unik. Meskipun sebenarnya saya sedikit mempertanyakan limitasi dari kemampuan AI nya yang nampaknya bisa merasuki seluruh teknologi dan alat elektronik, termasuk listrik juga.

Kemudian kita dibawa kepada segmen selanjutnya, yaitu Vehophobia (rasa takut mengemudi) yang disutradarai oleh Maritte Lee Go –Menceritakan Sami yang dihadapkan pada kengerian dari mobil yang ia kendarai. Kemudian segmen Ephebiphobia (rasa takut pada anak muda) yang disutradarai oleh Chris von Hoffmann –menceritakan seorang guru bernama Emma yang diterror oleh sekelompok anak remaja. Segmen selanjutnya adalah Hoplophobia(rasa takut pada senjata, terutama senjata api) yang merupakan karya pertama dari Camilla Belle sebagai sutradara –menceritakan Alma yang merupakan anggota S.W.A.T yang memiliki pengalaman buruk pada tugasnya yang membuatnya mengalami PTSD. Yang terakhir adalah Segmen Atelophobia (rasa takut pada ketidaksempurnaan) yang disutradarai oleh Jess Varley –menceritakan Renee yang merupakan seorang arsitek dan ia ternyata menyimpan sebuah rahasia misterius pada dirinya.

Seluruh segmen yang hadir dalam film ini pun memang memiliki ikatan yang kuat terhadap judul dari segmennya, yang merangkum rasa takut dari karakter tersebut. Sebenarnya saya bisa katakan bahwa kebanyakan dari segmen yang hadir di film ini adalah cukup bagus, saya sendiri menaruh Robophobia , Atelophobia dan Vehophobia sebagai segmen favorit saya. Segmen Robophobia sendiri yang dipenuhi oleh terror abstrak dan susunan tensi yang dibangun oleh sang sutradara –Joe Sill, pun cukup baik, sehingga Robophobia adalah segmen terkuat dan pembuka yang sangat baik. 


Kemudian Vehophobia sendiri, sebenarnya seperti hit or miss, saya sendiri antara suka dan tidak menyukainya, namun cukup terhibur dengan segmen ini. Terlebih lagi, Robophobia yang sebelumnya memiliki tema seperti hal supranatural, membuat segmen Vehophobia sedikit bisa diterima karna unsure supranatruralnya yang sangat kental. Meski saya bisa katakan bahwa akting dari aktor lelakinya cukup kaku dan membuat saya risih, Vehophobia ini memiliki potensi yang cukup besar. Saya sendiri sedikit berharap bahwa terror yang dibawakan pada segmen ini akan sekuat Robophobia, namun ternyata tidak. Vehophobia yang menurutku cukup baik, tidak membangun terrornya dengan cukup kuat. Sehingga saat ada penampakan yang muncul, tentunya dengan suara jumpscare yang cukup keras, saya sendiri tidak merasa takut atau terkejut. Atmosfir yang dibangun oleh segmen ini terlihat sangatlah nanggung, sehingga atmosfernya yang sebenarnya bisa menjadi lebih kuat malah berakhir dengan mengecewakan. Meski saya bisa katakana bahwa segmen ini pun cukup menghibur, dengan bagaimana alur mundurny yang menceritakan awal mula mengapa mobilnya bisa berhantu dan sebagainya.

Kemudian segmen yang menjadi salah satu kesukaankku di sini adalah, Atelophobia. Sejak awal segmen ini muncul, kita sudah diperkenalkan pada karakter Renee yang misterius dan secara terang-terangan terlihat menyimpan sebuah obsesi mengerikan. Terlihat dari bagaimana ia berinteraksi dengan Johnny saat di Outpost 37. Kemudian kita disuguhkan pada segmen Atelophobia, yang akan menguak tentang rahasia kelam Renee. Ternyata, Renee yang terobsesi dengan kesempurnaan tida tanggung-tanggung untuk memodifikasi dirinya sendiri.  Hal tersebut sendiri sudah menjadi sebuah horror dari segmen ini, tingkah laku Renee pun sudah menjadi bendera merah untuk segmen ini. Lalu kita dibangun perlahan dan diperlihatkan sejauh mana Renee bisa melakukan hal gila karna Phobianya terhadap ketidak sempurnaan itu. Akhirnya, kita dihidangkan pada munculnya rahasia terbesar Renee yang bagi saya cukup mengejutkan. Renee sendiri sejak awal sudah digambarkan sebagai orang yang sangatlah membenci kesalahan meskipun itu kecil. Ia menginginka kesempurnaan, termasuk dalam pekerjaan, dan dirinya. Yang akhirna dibangun dengan cukup baik di segmen ini, dan akhirnya kita diperlihatkan pada hal tergila yang Renee lakukan karan phobianya ini. Segmen ini sendiri memang tidak sebaik Robophobia namun masih bisa menjadi sebuah segmen yang cukup mengejutkan dan menghibur. Untung sekali segmen ini dibangun dengan perlahan dan tidak terlalu terburu-buru, dan berfokus pada Renee sang karakter utama dan poin utama dari segmen ini.

Kemudian untu segmen Ephebiphobia  dan Hoplophobia sendiri saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karna saya sangatlah kecewa dengan kedua segmen itu. Kedua segmen itu tak terasa semencekam tiga Segmen yang saya jelaskan sebelumnya di atas. Terlebih lagi Hoplophobia yang menurut saya sama sekali bukanlah bergenre horror, dan segmennya pun terbangun dengan sangat cepat sehingga saya tidak bisa menaruh simpati pada karakter ini. Sangat sulit untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dan memosisikan diri kita sebagai penonton pada karakter yang ada di segmen Hoplophobia ini. Ephebiphobia sendiri tidak kalah mengerikannya, aktingnya sangat kaku dan mungkin itulah horror yang sebenarnya dari segmen ini, horror dari akting yang kaku. Serta pembangunan atmosfer dan alurnya pun sangat cepat, meskipun memang terbilang simple premis yang dibawakanna, namun eksekusiny sangatlah berantakan.

Kemudian segmen Outpost 37 yang merupakan pengika dari kelima segmen ini pun sangat-sangat buruk. Entah mengapa saya sendiri tidak paham dari kehadiran Outpost 37 ini yang menaruh orang-orang dengan phobia tertentu dan dijadikan sebagai kelinci percobaan. Meskipun pada akhirnya dijelaskan mengapa mereka melakukan hal tersebut, namun semuanya terlambat karna alasan tersebut sangatlah konyol. Bahkan saya sendiri bingung bagaimana dia tau phobia-phobia tertentu dan bagaimana Outpost ini bekerja? Entahlah, ini adalah plot hole terbesar di film ini, dan menjadikan ketiga segmen yang saya sukai terbuang sia-sia. Scoring dari film ini pun tak kalah mengerikannya, entah mengapa hampir seluruh music yang ada di film ini tidak pas, seperti pada saat yang tegang yang seharusnya meggunakan music yang ikut membangun keteganga tersebut, namun ternyata musiknya malah membuat saya geleng kepala karna ketidakcocokannya itu. Terlebih lagi Oupost 37 adalah segmen atau bagian yang sangatlah penting dari film ini, memang cukup sulit untuk menyatukan segmen-segmen pada film antologi. Namun Outpost 37 ini bekerja layaknya sebuah black hole yang akan menghisap apapun dan membuatnya lenyap, termasuk pada segmen-segmen yang cukup bagus malah berakhir menjadi terbuang sia-siap karna penyatuan yang tidak kuat pada Outpost  37 ini.

Pada akhirnya Phobias gagal menjadi sebuah film horror antologi yang sukses. Meski saya bisa katakana bahwa beberapa dari segmennya terbilang cukup bagus. Namun dengan Outpost 37 sebagai pengikat yang tidak terlalu kuat ini membuat film ini membosankan dan sia-sia. Bahkan saya sendiri sangat kesulitan untuk duduk diam dan enjoy. Terlebih lagi terkadang satu segmen dengan yang lainnya terlalu jomplang eksekusi phobia yang dijadikan temanya. Sehingga yap, film ini menjadi roller coaster mengerikan. Seperti segmen Atelophobia yang menjadi penutup, namun sayang karna ia muncul setelah segmen Hoplophobia saya sendiri sudah hopeless. Scoring di film ini pun cukup hancur dan berantakan, banyak yang tidak pas dengan momennya. Jangan lupakan beberapa akting yang kaku. Pada akhirnya saya paham mengapa film ini memiliki rating yang rendah.

Rating

30%


Komentar