Review: Scary Stories to Tell in the Dark (2019)




Tepat pada malam halloween, Stella (Zoe Margaret Colletti), Auggie (Gabriel Rush), Chuck (Austin Zajur) dan seorang remaja yang berasal dari luar kota, Ramon (Michael Garza). Menghabiskan waktu mereka dengan memasuki sebuah rumah besar yang konon katanya berhantu dan penuh misteri milik keluarga Bellows. Keluarga Bellows sendiri memiliki cerita mengerikan, konon katanya sang puteri, Sarah, kerap dikurung dan tidak pernah keluar dari rumah. sarah hanya menghabiskan waktu sendiri dengan bercerita melalui dinding rumahnya yang kemudian didengar oleh anak-anak dari luar yang menunggunya bercerita. Namun, setiap Sarah bercerita, satu persatu anak mulai menghilang dan meninggal dengan misterius. Sarahpun berakhir dengan menggantung dirinya.

Stella yang sedang menelusuri rumah keluarga bellows tersebut menemukan sebuah buku milik Sarah, yang mana ada tulisan-tulisan karangan Sarah. Stella memutuskan untuk membawa pulang buku tersebut, tanpa tahu ia pun membawa sesuatu yang mematikan bersamanya.

Film ini sebenarnya sangat saya nantikan, sebagai seseorang yang gemar membaca beberapa cerita Scary Stories to tell in the dark, saya merasa kembali bernostalgia ketika menonton film ini. Bahkan, saya sendiri cukup menantikan cerita apa saja yang akan dibawa ke layar lebar. Dan film garapan André Øvredal ini seperti kembali menghidupkan cerita seram yang dulu saya baca.

Mungkin ketika pada awal pemutaran akan berfikir bahwa film ini memiliki vibe seperti IT, dimana anak-anak dalam bahaya dan mencoba untuk keluar dari lingkaran kematian itu, namun bukanlah badut yang dihadapi, melainkan monster-monster dengan sosok yang menyeramkan. Kita sendiri digiring menuju cerita demi cerita yang akan merenggut nyawa satu persatu anak-anak tersebut, namun eksekusinya pun tidak terlalu cepat, kita diberi waktu untuk mengenal karakter demi karakter meski tak begitu lama. Sehingga, ketika eksekusi tersebut berlangsung, kita akan merasa kasihan ataupun kesal karna kita sudah benci karakter tersebut.


André Øvredal piawai dalam menaruh jumpscare di filmnya, seperti pada film The Autopsy of Jane Doe, Overdall kembali membuat para penonton menanti kehadiran hantu yang hendak membuat para penonton terkejut, dan belum sampai bernafas lega, jumpscare pun muncul dimomen yang tepat. Sehingga kebanyakan jumpscare di film ini tidaklah miss meski saya sendiri bisa menebaknya beberapa. Skoring dalam film ini pun bagus, cukup tepat dengan beberapa momen apalagi saat momen menegangkan, kita sendiri jadi ikut was-was apakah karakter ini akan selamat atau tidak.

Mungkin ketika saya mendengar Guillermo del toro memproduseri film ini, dan André Øvredal lah yang duduk di kursi sutradara, keluar bioskop saya akan kerap terngiang-ngiang akan film ini. Benar saja, saya tidak bisa melupakan sosok monster yang ada dalam film ini, dimana film ini hanya berpatok pada satu gambar desain monster dalam buku originalnya, namun sukses sekali untuk menghidupkan monster tersebut. Saya pun puas ketika megetahui Monster-monster tersebut minim CGI, yang mana hanya berbekal make up dan kostum, dan itu membuat saya merasa monster-monster tersebut terlihat meyakinkan.

Entah mengapa, saya cukup kecewa dengan pengeksekusian yang tidak brutal, bahkan biasa saja. Awalnya saya berharap bahwa film ini akan menghadrikan beberapa darah dan kesadisan saat seseorang dibunuh atau mati, namun entah mengapa dengan monster seseram itu pengekseskusiannya terlampau biasa saja. Padahal jika diberikan beberapa darah akan menjadi epic, mengingat monsternya pun kejam dan mengerikan, bukan?

Film ini pun berfokus pada bagaimana menghentikan cerita-cerita tersebut, dan kita digiring untuk mengikuti investigasi sembari mencoba menyelamatkan kawan-kawannya yang namanya tertulis di buku tersebut. Saya sendiri menikmati menit demi menit film ini, karena Pacenya yang cepat tidak merusak suasana dan tidak melupakan cerita demi cerita. Namun saat mencapai klimaks, entah mengapa saya cukup kecewa. Pada klimaks sendiri saya merasa terombang-ambing apakah saya harus was-was atau santai mendengar orang-orang bicara. Pace dan atmosfer pada klimaks pun cukup berantakan karna ada dua atmosfer yang terjadi dalam satu waktu dan dirangkai dengan kasar.

Ending pada film ini pun bagi saya sangat mengecewakan, karena saya berharap setelah semua monster yang dilewati, kita akan diberi sebuah penutup yang Wah. Namun kenyataannya endingnya flat dan seperti agak dipaksakan karna bingung mau kemana lagi, Entah mengapa saya juga merasa bahwa Akting Michael Garza terlihat sangat buruk di paruh akhir, benar-benar terlihat kaku, meski terlihat sedari awal dia aktingnya biasa saja, namun pada paruh akhir mencapai klimaks, entahlah aku harus bicara apalagi.


Rating
70%

Komentar